Popular Posts

Kode

Blogger news

Blogroll

About

Categories

Jadikan Hari Mu lebih Berwarna Dengan Memabaca

Powered by Blogger.
Tuesday 26 August 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

B.     Judul                    : Kiamat Kecil Di Sempadan Pulau
C.    Pengarang            : Fakhrunnas M.A. Jabbar

D.    ISI
            Andai kau datang kesinai sepuluh tahun lalu,kota pelabuhan ini begitu ramai.kapal dan penumpang datang silih berganti.Pasar di penuhi para pedagang dari kawasan pesisir.orang-orang hidup saling menghargai.Semuanya butuh damai.Sebuah masjid besar yang tak begitu jauh dari pelabuhan senantiasa memancarkan lengkingan azan tepat di lima waktu shalat.Dibulan puasa dan hari raya, ribuan jamaah memenuhi masjid dan mushalla.begitulah semaraknya kehidupan kota pelabuhan dipulau terpencil yang bak terapung di alunan ombak selat malaka.
            Pada mulanya,Kota ini tak lebih dari sebuah kampung nelayan.Dihuni orang-orang melayu pesisir hasil perpaduan turun-temurun dengan suku laut,penghuni asal pulau itu.Jumlahnya hanya belasan kepada keluarga.Kehidupan mula tak lebih dari rimbunan rimba bakau yang mengepung pulau itu. Sejak Sayed Sobri,seorang saudagar keturunan Arab mulai menggarap rimba bakau disitu.Lelaki yang suka berbaju gamis dan beserban itu mendirikan kilang arang bakau.hasilnya di bawa lewat semokel ke negeri jiran, Malaysia.pelan-pelan, kampung nelayan itu berkembang jadi kota pelabuhan. Kapal-kapal makin sering menyandar mendatangkan barang-barang kebutuhan harian dan mengangkut arang bakau,gula nipah,dan buah tembatu ke seberang.
            Sayed Sobri pula yang mengajak orang-orang dipulau itu membangun masjid dan mushalla.Sayed memamng piawai berniaga dan pemurah pula.Lebih dari itu,pandai pula berdakwah.Kehidupan orang-orang dikampung nelayan itu mulai berubah.rumah-rumah panggung kayu secara perlahan berubah menjadi rumah batu.Tiang televisi bertaburan muncul dari celah atap untuk menangkap siaran TV negeri jiran semua ini dimungkinkan adanya aliran listrik dari mesin genset besar milik Sayed.
            Bertahun-tahun kehidupan layaknya permukiman melayu berlangsung damai.Para lelaki kemana-mana memakai peci dan sebagian mengenakan kain sarung.Bajunya cekak-musam.Kaum perempuan berbaju kurung dengan selendang menutupi seluruh rambut.
            ”Orang-orang disini memegang teguh tunjuk-ajar dan pantang larang.Tak ada maling.Tak ada orang yang menampakkan aurat apalagi berbugil.Ajaran dasar melayu itu sangat tunduk pada ajran islam,” tutur Sayed sobri dengan suara terbata-bata di seuah mushalla kecil yang tersurkt jauh dari kota pelabuhan itu.Ia berseorang diri padahl dulunya,ia sampai punya empat istri yang molek dan jelita.
            Andai kau datng sepuluh tahun silam,tentu sayed Sobri masih di kejayaannya.Peniaga andal yang pandai pula berdakwah.Bertempat tinggal dirumah batu yang gemerlapan .Memang dialah orang terkaya di kota pelabuhan itu.
            Kecemerlangan kota itu tak bertahan lama.kawasan pantai pulai itu berubah menjadi tempat pelancongan.hasil buminya berupa pasir darat dan pasir laut di keruk mesin-mesin raksasa dan dikirim ke Singapura dan Johor.Kawasan pelabuhan makin banyak disinggahi para peniaga yang selalu mencari peluang niaga yang menguntungkan.Tanpa terasa bersempadan dengan permukiman orang-orang asal berdiri megah tempat-tempat hiburan.Ya, karaoke,diskotek,dan tempat perjudian gelap.Suara azan dan pengajian berbaur dengan dentuman musik keras dan tertawa cekikikan perempuan sundal.
            Sayed Sobri mulanya masih kuat bertahan.Menenamkan ajaran etik di tengah jamaahnya.Orang-orang yang kurang beruntung nasibnya di pekerjakan di kilang-kilang arang atau sagu dengan penghasilan secukupnya.Sebaliknya, pertumbuhan rumah hiburan di kawasan pesisir pulau itu semakin meyudutkan keberadaan orang-orang tempatan.Bahkan,sebagian diantara orang tempatan itu mulai tergiur untuk ambil bagian dalam perniagaan hiburan itu.Semisal jadi penjaga keaamanan atu pelayan. Bahkan, ada pula orang tempatan yang ikut membuka tempat hiburan dan tempat perjudian bersama orang-orang pendatang.
            Sayed Sobri pelan-pelan mulai terkalahkan.perniagaannya tak kuat bersaing dengan para pendatang yang sebagian besar orang-orang keturunan Cina. Mereka melakukan segala usaha tanpa mengindahkan rasa-perisa orang-orang tempatan yang hidup penuh santun dan berserah diri pada Tuhan. Pertarunga ajaran kebajikan berbenturan denga ajaran kebathilan berlangsung begitu saja.
            Selang beberapa tahun saja,sayed Sobri dan jamaahnya benar-benar bertekuk lutut. Kehidupan malam merajalela masjid dan mushalla semakin sepi. Orang-orang tempatan tergusur kekawasan pinggiran. Pukulan terberat yang dialami Sayed Sobri ketika istrinya yang keempat dirayu tauke Ah Cun, peniaga hiburan terbesar,dan dibawa lari ke negeri Jiran. Sayed dan sejumlah jamaahnya yang setia memang sudah coba mengadu keaparat keamanan setempat. Tapi,tak ada kelanjutannya. Bisa jadi,Ah Cun dan orang-orangnya lebih piawai lagi mempermainkan hukum. Sayed Sobri benar-benar terpukul.
            Andai kau datang kekota ini sepuluh tahun lalu,tentu Sayed Sobri tak akan pernah berada dipedalaman yang sepi.sunyi dari segala nyanyian,kecuali ratib dan dzikir yang diirngi belasan pengikutnya.
            Kehidupan di kawasan pelabuhan benar-benar bergalau. Orang-orang tempatan yang lemah pertahanan bathinnya telah berbancuh denga para pendatang. Apalagi,diakhir pekan,pelancong murahan sebab mereka itu sebenarnya hanya sopir, buruh, dan penjaga kedai dari Singapura makin mengibarkan keseronokan duniawi disitu. Perempuan sundal semakin menjamur.
            Sayed Sobri dan belasan jamaahnya terus membathin. Tafakkur dan mendekatkan diri pada Tuhan. Lewat shalat-shalat tahajjud dan dzikr panjangnya,mereka mendoakan agar bala bencana diturunkan dipulau itu.
            “Ya,Allah beri peringatan mereka yang lalai yang telah berpaling dari diri Engkau. Datangkan bala bencana bagi mereka yang pendurhaka. Seperti Engkau menurunkan bencana keatas kaum Nabi Luth, Musa, Ibrahim, Sulaiman, dan sekalian Nabi dan Rasul lainnya. Dan, beri perlindungan orang-orang yang taat kepada Engkau....” ucapan doa ini nyaris mengalir setiap waktu dari mushalla kecil dibawah Imam Sayed Sobri.
            Andai Kau menyaksikan peristiwa sepuluh tahun silam dipulau itu, kiamat kecil memang telah datang. Ombak Selat Malaka bergelora tiba-tiba. Angin puting beliung melanda kota pelabuhan dipulau itu. Ratusan rumah panggung terangkat ke langit dan dibantig kembali kebumi. Orang-orang yang asyik masyuk di alam keduniawian mereka,berkecai-kecai sebagian besar dihanyutkan gelombang balik, terbawa arus kuat kepusaran Selat Malaka yang tiba-tiba garang.
            Bertahun-tahun,kota pelabuhan itu jadi sepi dan kosong-melompong.kapal-kapal tak pernah sandar lagi. Para pendatang tak lagi melirik pulau yang dulunya cantik-molek. Sayed Sobri pun tak lepas dari bala bencana itu. Hampir semua anggota keluarganya ikut digulung ombak yang deras. Sayed memang tinggal seorang diri. Itupun karena ada bala bantuan tersembunyi dari kekuatan gaib yang seorangpun tak akan pernah percaya. Tapi,Ah Cun dan pengikutnya termasuk beberapa sundal piaraannya selamat karena saat bencana itu datang, mereka sedang berada di negri Jiran.
            “Aku tersadar di sebuah pulau kecil yang bersempadan. Entah apa yang dapt membuatku bertahan. Allah telah menolongku.... hanya Allah semata....,” tutur Sayed dengan matanya yang mulai kabur.
            “Apa yang habib ingat tentang bala bencana yang terjadi disisni sepuluh tahun silam?”
            “Gelombang menyapu bersih semua penghuni dan isi pulau ini....”
            “Berapa dahsyat .... ?”
            “Amat dahsyat... Aku boleh menyebutnya Kiamat Kecil....”
            “Bagaimana nasib anak-istri habib sendiri ?”
            “Itulah gambaran kiamat yang sebenarnya walau kecil. Ketika kiamat telah tiba, tak ada sesiapa yang dapat menyelamatkan,kecuali amal sendiri.”
            “Kenapa habib bisa selamat? “
            “Aku sudah katakan, bisa jadi ini mukjizat belaka. Ya, mungkin tepatnya bukan mukjizat, hanya sedikit keramat....”
            “Bila kiamat kecil dianggap telah datang kepulau ini, bisa dikatakan tanah ini di murkai tuhan ?”
            “Tanah tak pernah di murkai. Tanah dimana-mana suci dari dosa. Tapi, orang-orangnya lah yang mendapat murka. Ketika kemungkaran telah bertahta, Allah memberikan cobaan pada orang yang jahat dan baik....”
            “Tapi, apa yang membuat habib kembali kepulau yang pernah dilanda bencana ini ....”
            “Ini tanah bersejarah. Tanah yang menjadi perlambang tegaknya cahaya Islam disini. Dan, ini pula lambang terpuruknya segala kemunafikan dan kebathilan ketika berhadapan dengan kebenaran....”
            “Berapa lama lagi habib akan bertahan disini?”
            “Ya, sampai Allah memanggil kealam keabadian. Hari-hariku hanya tafakkur, dzikir, dan memperhambakan diri kepada pemilik semesta....”
            “bagaimana habib meramalkan nasib pulau ini kedepan?”
            “Kecemerlangan selalu bisa datang tiba-tiba. Pulau ini hendaklah diisi oleh orang-orang yang bersyukur. Sebab,Allah berjanji, bagi orang-orang yang mensyukuri nikmat-Nya, nikmat itu akan dilipat gandakan”
            “Kapan itu bisa terwujud?”
            “Aku bukan peramal. Aku hanya bisa berdoa untuk kemaslahatan penghuni pulau ini kedepan...”
            Menjelang matahari naik kesepenggalahan,saat waktu zuhur tiba, Sayed mengumandangkan azan dengan suara gerau karena ketuaan. Ia shalat sendirian dibangunan kayu yang disebutnya mushalla kecil itu.
            Andai kau datang sepuluh tahun kemudian di pulau ini, Sayed Habib sudah tiada. Pulau ini masih di penuhi puing-puing kesejarahan orang-orang pendurhaka. Tapi, masih ada secercah harapan dilangit yang sewaktu-waktu  akan turun tanpa sepengetahuan sesiapa.
            Sebuah makam di tengah kepungan belukar masih ada. Meski tanpa nama,orang-orang yang datang kemudian percaya itulah makam Sayed Sobri yang keramat. Orang-orang begitu gerun menyebut nama itu ditengah peradaban duniawi yang terus bergulir dari waktu kewaktu.




BAB II

UNSUR INTRINSIK KIAMAT KECIL DI SEMPADAN PULAU
FAKHRUNNAS M.A. JABBAR
1.      TEMA
            Tema dalam sinosis cerpen ini adalah mengajarkan tentang kebajikan dan    larangan menurut agama islam dan aturan agama.

2.      AMANAT
Amanat yang terdapat dalam cerpen ini adalah :
1.      Berpegang teguh pada tali agama Allah
2.      Menjalani perintah dan menjauhi segala larangan Allah
3.      Saling menghargai sesama

3.      LATAR /SETTING
Latar dalam cerpen ini adalah sebuah pulau kecil yang berada di daerah pesisir pantai yang sangat mengimpikan keindahan dan kedamaian, mesjid, mussollah.
a.       Latar Tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, yaitu :
Di sebuah pulau kecil di selat malaka
b.      Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ” kapan ” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, yaitu :
Pada saat nelayan di pulau itu belem tahun menggunakan atau memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka.
c.       Latar Sosial
Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks serta dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, yaitu :
Di pulau kecil ini di dalam cerpen ini melukiskan kebahaian dan kedamaian yang sangat mengacu pada dinding hati masyrakat dan sangat berpegang teguh pada tali ajaran agama, maulai dari itulah masyarakat di pulau ini hidup dengan serba kecukupan dan memulai kehidupan baru.
4.      ALUR PLOT
Dalam novel ini menggunakan alur maju dan mundur. Alur maju ketika pengarang menceritakan dari mulai rumah kayu hingga rumah batu dan alur mundur ketika menceritakan peristiwa perubahan dari sebuah kampung kecil menjadi kota pulau.

5.      SUDUT PANDANG
Sudut pandang (point of view) merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan.
Penulis dalam cerpen ini memandang bahwa sebuah kehidupan dapat berubah jikalah seseorang ingin merubahnya.

6.      PENOKOHAN
Sayed Sobri           : seorang piawai berniaga dan pemurah.
Tauke Ah Cun       : seorang peniaga hiburan terbesar,dan dibawa lari ke                                                  negeri Jiran
Masyarakat            : orang yang berada di pulau kecil yang sangat makmur                                             pada awalnya                



7.      DIALOG
            “Aku tersadar di sebuah pulau kecil yang bersempadan. Entah apa yang dapt membuatku bertahan. Allah telah menolongku.... hanya Allah semata....,” tutur Sayed dengan matanya yang mulai kabur.
            “Apa yang habib ingat tentang bala bencana yang terjadi disisni sepuluh tahun silam?”
            “Gelombang menyapu bersih semua penghuni dan isi pulau ini....”
            “Berapa dahsyat .... ?”
            “Amat dahsyat... Aku boleh menyebutnya Kiamat Kecil....”
            “Bagaimana nasib anak-istri habib sendiri ?”
            “Itulah gambaran kiamat yang sebenarnya walau kecil. Ketika kiamat telah tiba, tak ada sesiapa yang dapat menyelamatkan,kecuali amal sendiri.”
            “Kenapa habib bisa selamat? “
            “Aku sudah katakan, bisa jadi ini mukjizat belaka. Ya, mungkin tepatnya bukan mukjizat, hanya sedikit keramat....”

8.      KLIMAKS
Akhir dari sebuah cerpen yang di tulis oleh pengarang adalah kebagian yang tidak dapat terukirkan di hati masyarakat di pulau kecil pesisir pantai ini, namun kebahagian itu berubah menjadi malah petakan dan berakhir dengan datangnya kiamat kecil, dan mereka memulai semua itu dari hal awal dan menuju kebahagian.



BAB III
BIOGRAFI PENULIS
Dilahirkan di Desa Tanjung Barulak, Kampar, Riau pada 18 Januari 1959. Mulai menulis sejak di bangku SMP di Bengkalis. Menamatkan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan, Universitas Riau (UNRI) Pekanbaru tahun 1985. Menjadi dosen di Universitas Islam Riau (UIR) sejak 1986. Tulisannya berupa artikel, esai, cerpen dan puisi telah dimuat di sejumlah media nasional dan local seperti Horison, Kompas, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, Riau Pos, Kartini, Nova, Citra, Suara Pembaruan, Bisnis Indonesia, Seputar Indonesia, Gatra dan sebagainya.
Aktif dalam berbagai organisasi kesenian dan kebudayaan a.l. Komite Sastra Dewan Kesenian Riau (1994-96), Sekretaris Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI- 1983-95), Sekretaris Lembaga Seni Budaya Pemuda KNPI Riau (1981-85), Sekretaris Komite Program Yayasan Puisi Nusantara (1980-84). Sejumlah buku telah diterbitkan antara lain, Di Bawah Matahari (1981) dan Matahari Malam, atahari Siang (1982) - keduanya kumpulan puisi bersama penyair Husnu Abadi , Meditasi Sepasang Pipa (1987) ?kumpulan puisi bersama penyair Wahyu Prasetya, Biografi Buya Zaini Kuni : Sebutir Mutiara di Lubuk Bendahara (1993), Autobiografi H. Soeman Hs: Bukan Pencuri Anak Perawan (1998) yang terpilih sebagai Buku Terbaik Anugerah Sagang tahun 1999. Kumpulan Puisi Airmata Barzanji (Adi Cita, Yogyakarta, 2005, Pengantar oleh D. Zawawi Imron), Kumpulan Cerpen Sebatang Ceri di Serambi (Akar Indonesia, Yogyakarta, 2005, Kata Pengantar oleh Dr. Maman S. Mahayana) ? pernah dibahas oleh Pengamat Sastra Prof. Harry Aveling di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, 2006 serta terpilih sebagai 10 Nominator Khatulistiwa Literary Award 2006 dan terpilih sebagai Buku Pilihan Anugerah Sagang 2006 Katagori Buku Pilihan.
Sejumlah puisinya diterjemahkan dan ikut dalam Antologi Puisi Indonesia-Portugal bersama 50 Penyair Indonesia lainnya. Kumpulan Puisi terbarunya, Tanah Airku Melayu sedang dalam proses penerbitan oleh penerbit Adi Cita, Yogyakarta. Selain itu, 6 buku cerita anak di mana tiga judul di antaranya termasuk buku Inpres yakni Anak-anak Suku Laut (Pustaka Utama Grafiti, 1994), Menembus Kabut (Depag RI, 1985), Menyingkap Rahasia di Bumi Harapan (1997). Sebuah cerpennya, Rumah Besar Tanpa Jendela dimuat dalam Buku Cerpen Horison Sastra Indonesia (Horison, 2001) dan diangkat ke sinetron oleh Chaerul Umam ditayangkan di LaTivi (2002). Sering memenangkan Sayembara Penulisan Sastra di antaranya Juara Pertama Penulisan Cerpen se-Indonesia (Bali Post, 1992), Juara Pertama Penulisan Cerpen se-Indonesia (UNS Surakarta, 1993), Juara Pertama Penulisan Puisi Lingkungan se-Indonesia (Sanggar Sastra Banjarmasin, 1987) dan Juara Pertama Penulisan Puisi tingkat Mahasiswa se-Indonesia pada Porseni tahun 1982) dan lain-lain. Sering pula memberikan ceramah sastra dan budaya dan membaca puisi di sejumlah kota seperti Kuala Lumpur, Singapura, Pekanbaru, Padang, Medan, Jambi, Lampung, Jakarta dan Bandung.
Pernah diundang oleh Unesco Korea Selatan tahun 1999 bersama dua budayawan Indonesia dan Negara-negara ASEAN lainnya pada ?99 Cultural Exchange Programme ASEAN-Republic of Korea di Seoul dan Kyong Ju. Menghadiri dan membacakan puisi pada event sastra seperti Hari Sastra di Malaysia, Pertemuan Puisi Indonesia 1987, Malam Bosnia (1995), Malam Solidaritas Islam (1996), Gong Melayu 2001 (2001) dan Baca Sajak Tempuling Rida K. Liamsi (2003), Cakrawala Sastra Indonesia (2004) ? semuanya di TIM Jakarta dan Kongres Cerpen Indonesia di Pekanbaru (2006). Terakhir, membacakan sajak-sajaknya di Laman Bujang Mat Syamsuddin, Bandar Serai, Dewan Kesenian Riau, Pekanbaru, Maret 2004.
Selain aktif berkesenian, dia juga menjalani profesi sebagai wartawan selama 20 tahun sejak 1979 dimulai dari LKBN Antara, Panji Masyarakat, Prioritas, Media Indonesia dan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Sering memenangkan Lomba Karya Jurnalistik di Riau. Saat ini bekerja pada sebuah perusahaan pulp dan kertas di Pangkalan Kerinci, Pelalawan Riau dan hidup bersama istri yang dianugerahi tiga anak.



DAFTAR PUSTAKA
Fakhrunnas M.A. Jabbar “Kiamat Kecil Di Sempadan Pulau”.2001.


0 comments: