Popular Posts

Kode

Blogger news

Blogroll

About

Categories

Jadikan Hari Mu lebih Berwarna Dengan Memabaca

Powered by Blogger.
Tuesday 26 August 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (smeltzer S.C & Bare B.G,2001) Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.( reeves C.J,Roux G & Lockhart R,2001 ).(1)

Fraktur tulang tengkorak dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis :

1.      Complete fracture ( fraktur lengkap ), patah pada seluruh garis tengah tulang,luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.
2.      Closed fracture (fraktur simple ), tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit masih utuh.
3.      Open fracture ( fraktur terbuka / komplikata/ kompleks), merupakan fraktur dengan luka pada kulit ( integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.

Fraktur mempunyai makna pada pemeriksaan forensik. Bentuk dari fraktur dapat menggambarkan benda penyebabnya (khususnya fraktur tulang tengkorak), arah kekerasan. Fraktur yang terjadi pada tulang yang sedang mengalami penyembuhan berbeda dengan fraktur biasanya. Jangka waktu penyembuhan tulang berbeda-beda setiap orang. Dari penampang makros dapat dibedakan menjadi fraktur yang baru, sedang dalam penyembuhan, sebagian telah sembuh, dan telah sembuh sempurna. Secara radiologis dapat dibedakan berdasarkan akumulasi kalsium pada kalus. Mikroskopis dapat dibedakan daerah yang fraktur dan daerah penyembuhan. Penggabungan dari metode diatas menjadikan akurasi yang cukup tinggi. Daerah fraktur yang sudah sembuh tidaklah dapat menjadi seperti tulang aslinya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Fraktur Temporal
Fraktur tulang temporal merupakan konsultasi kegawatdaruratan yang sering dihadapi oleh spesialis otolaringologi (Ho dan Makishima, 2010). Pengetahuan anatomi dari struktur vital dalam tulang temporal sangat penting untuk diagnosis yang tepat dan manajemen cedera tersebut. Evaluasi yang tepat dapat memperhitungkan spektrum keparahan dan gejala-gejala yang terjadi.

B.     Epidemiologi dan Insidensi
Fraktur tulang temporal terjadi sekitar 14-22% dari semua cedera tengkorak. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Sebagian besar fraktur unilateral, sedangkan fraktur bilateral berkisar 9-20%. Pasien anak-anak dengan fraktur tulang temporal mencapai 8-22% (Ho dan Makishima, 2010).
Mekanisme utama dari cedera meliputi kecelakaan kendaraan bermotor (12-47%), penganiayaan (10-37%), jatuh (16-40%), dan luka tembak (3-33%). Dengan pengembangan teknologi keselamatan mobil, kejadian fraktur akibat kecelakaan kendaraan bermotor mengalami penurunan. Di sisi lain, peningkatan tingkat kejahatan dengan kekerasan lebih sering menyebabkan fraktur tulang temporal (Ho dan Makishima, 2010).

C.    Klasifikasi
Fraktur tulang temporal dibagi menjadi 4 berdasarkan orientasi relatif terhadap sumbu panjang tulang petrosa, yaitu (Swartz dan Curtin, 2003):
1.      Fraktur longitudinal
2.      Fraktur tranversal
3.      Fraktur oblik
4.      Fraktur campuran


1.      Fraktur longitudinal (70-90%)
Fraktur longitudinal tulang temporal paralel terhadap sumbu panjang dari piramida petrosa dan biasanya terkait dengan trauma tumpul temporoparietal (Ho dan Makishima, 2010; Swartz dan Curtin, 2003). Sekitar 10% berhubungan dengan ekimosis yang terlihat di prosesus mastoid (Battle’s sign). Fraktur ini melintasi telinga tengah dan sangat sering dikaitkan dengan dislokasi tulang-tulang pendengaran.
Struktur yang paling sering terlibat adalah membran timpani, atap telinga tengah, dan bagian anterior dari apeks petrosa (Ho dan Makishima, 2010). Selain itu, fraktur longitudinal dapat ke arah anterior menuju tuba eustachius dan fosa kranial tengah, dan dapat ke arah posterior relatif terhadap labirin, menuju foramen jugularis dan memperluas ke dalam fosa posterior (Swartz dan Curtin, 2003).
Sekitar 15-20% akan melibatkan saraf fasialis dan cedera terjadi di dekat ganglion genikulatum atau di bagian horizontal. Kelumpuhan fasialis sering terjadi pada onset yang lambat, berhubungan dengan edema daripada gangguan langsung dari sarafnya. Keterlibatan vestibular dan defisit sensorineural tidak sering terjadi dan dikaitkan dengan efek benturan daripada trauma langsung pada labirin vestibular dan koklea (Ho dan Makishima, 2010).
Perdarahan di telinga tengah yang kemudian keluar menjadi perdarahan dari kanalis eksternal merupakan tanda dari fraktur longitudinal, yang berlawanan dengan perdarahan di belakang membran timpani pada fraktur transversal. Kebocoran cairan serebrospinal dapat terjadi pada fraktur longitudinal, namun kurang umum dibandingkan pada fraktur transversal (Kinney, 1998).







Gambar 1. Gambaran fraktur longitudinal (Swartz dan Curtin, 2003)
Terdapat dua subtipe berdasarkan utamanya lokasi asal, yaitu posterior dan anterior (Swartz dan Curtin, 2003). Subtipe posterior sering berasal dari prosesus mastoid atau bagian posterior bagian skuamosa tulang temporal dan berakhir di foramen laserum. Jenis ini biasanya tidak melibatkan fosa glenoid. Sedangkan subtipe anterior berasal dari bagian depan bagian skuamosa tulang temporal dan melintasi tegmen timpani sampai apeks petrosa atau melewati sepanjang tuba eustachius sampai foramen laserum. Jenis ini dapat mengakibatkan kerusakan arteri meningeal medius dan perkembangan perdarahan epidural, dan jenis ini biasanya melibatkan fosa glenoid.

2.      Fraktur transversal (20-30%)
Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari piramida petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau temporoparietal (Ho dan Makishima, 2010; Swartz dan Curtin, 2003). Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum melalui fosa posterior, melalui pyramid petrosa, termasuk kapsul otik dan ke dalam fosa kranial tengah. Kapsul otik dan kanalis auditorius internal sering terlibat juga (Ho dan Makishima, 2010).
Fraktur ini sering terjadi pada pasien dengan cedera yang parah dan kematian dari pukulan itu sendiri dapat terjadi cepat. Cedera ini sering diikuti dengan gangguan pendengaran sensorineural yang parah, dan dapat disebabkan karena kerusakan fungsi vestibular. Kerusakan ini berhubungan dengan cedera benturan langsung terhadap telinga dalam atau berhubungan dengan fraktur yang melalui kapsul otik. Ini diperkirakan bahwa paralisis fasialis, karena gangguan saraf fasialis, dapat terjadi pada 50% kasus, tercatat cepat terjadi dan mungkin permanen jika tidak dioperasi (Kinney, 1998).
Pada fraktur tranversal, sering kali terjadi perdarahan di telinga tengah, namun karena membrane timpani intak, terjadi hematotimpanum yang dapat dilihat tanpa ada perdarahan yang keluar. Otorea cairan serebrospinal umum terjadi dan paling sering dideteksi dengan aliran cairan jernih dari tuba eustachius ke dalam nasofaring (Kinney, 1998).

Gambar 2. Gambaran fraktur transversal (Swartz dan Curtin, 2003)

Terdapat dua subtipe berdasarkan lokasi terhadap penonjolan arkuata (tanda sepanjang permukaan superior petrosa yang secara kasar sama dengan posisi apeks kurva kanalis semisirkularis superior), yaitu medial dan lateral (Swartz dan Curtin, 2003). Subtipe medial melintasi fundus (aspek lateral) dari kanalis auditori internal. Pada jenis ini, gangguan pendengaran sensorineural terjadi sekunder karena transeksi saraf koklear dan seringkali terjadi lengkap dan permanen. Sedangkan subtipe lateral melintasi lebih ke labirin tulang daripada kanalis auditori internal. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran sensorineural dan berkaitan dengan fistula perilimfatik dan hubungan telinga tengah dan telinga dalam akibat fraktur.

Gambar 3. Fraktur Tranversal, suptipe lateral (Swartz dan Curtin, 2003)
a.       Gambar CT aksial, telinga kanan. Fraktur (panah) dimulai pada posterior permukaan petrosa di sekitar akuaduktus vestibular dan merusak bagian anterior tegmen timpani serta bagian skuamosa petrosa.
b.      Gambat CT aksial, telinga kanan, lebih rendah, juga memperlihatkan gangguan fraktur promontorium (panah). Perhatikan hematotimpanum difus.
Gambar 4. Fraktur Tranversal, suptipe medial (Swartz dan Curtin, 2003)
a.       Fraktur linier (panah) mulai dari permukaan petrosa posterior di sekitar akuaduktus vestibular dan meluas melalui fundus kanalis auditor internal terhadap genu pertama kanal saraf fasialis
b.      Pneumovestibular (panah)
Tabel 1. Perbedaan Fraktur Longitudinal dan Fraktur Transversal (Ling, 2001)

Tipe
Longitudinal
Transversal
Lokasi
Melalui garis sutura petroskuamosa dan berlanjut ke arah anterior menuju kapsul otik
Melalui superior CAE, telinga tengah, aksis panjang dari pyramid petrosa
Melibatkan kapsul otik atau kanalis auditori internal
Frekuensi
70-80%
20-30%
Gangguan pendengaran
Konduktif

Sensorineural (biasanya parah)
Paralisis n. fasialis
15-20%
Cedera pada ganglion genikulatum atau pada bagian horizontal saraf
50%
Derajat trauma
Rendah hingga tinggi
Trauma tumpul lateral
Biasanya tinggi
Trauma oksipital atau frontal
Komplikasi
-       Kerusakan osikular (umum)
-       CHL
-       Vertigo (jarang)
-       Perdarahan di kanalis auditori eksternal
-       Kebocoran cairan serebrospinal (kadang)
-     Ruptur kapsul otik dan kanalis auditori internal
-     SNHL
-     Vertigo (umum)
-     Kebocoran cairan serebrospinal (umum)

3.   Fraktur oblik
Fraktur oblik ini meluas dari bagian skuamosa tulang temporal terhadap piramida petrosa dengan sering keterlibatan sendi temporomandibular. Fraktur oblik ini sering mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif akibat dislokasi incudostapedial. Hematotimpanum dan otorea juga sering terjadi pada fraktur oblik. Keterlibatan saraf fasialis kurang umum daripada pada fraktur transversal (Ginat dan Wang, 2008).

4.   Fraktur campuran
Anatomi dasar tengkorak mengurangi kemungkinan untuk fraktur longitudinal atau transversal yang murni. Fraktur campuran dengan garis fraktur meluas di hampir segala arah di bagian basal tengkorak mungkin dapat dilihat (Kinney, 1998).

Akhir-akhir ini, juga terdapat peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi perenggangan kapsul otik (otic capsule sparing/OCS) dan kerusakan kapsul otik (otic capsule disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi lebih baik terhadap sekuel klinis (Ho dan Makishima, 2010). Fraktur OCS lebih sering terjadi (>90%) daripada OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya insidensi cedera saraf fasialis (30-50%), SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4 kali lebih tinggi daripada OCS).

D.    Diagnosis
Anamnesis
Tabel 2. Keluhan Utama Fraktur Tulang Temporal (Ling, 2001)

Gejala
Diagnosis Banding
Onset
Prioritas Terapi
Gangguan pendengaran
Konduktif atau sensorineural
Awal
Tidak mendesak
Pusing
Perifer atau sentral
Bervariasi
Tidak mendesak
Kelemahan fasialis
Sentral atau perifer
Penting untuk diputuskan
Intervensi awal
Hipestesi fasialis
Defisit saraf kranialis V intratemporal atau cedera fasialis
Biasanya onset lambat jika intrakranial
Rekoveri spontan sebagai terapi general
Diplopia
Defisit saraf kranialis VI atau cedera mata
Biasanya lambat
Rekoveri spontan sebagai terapi general

1.      Gangguan pendengaran
-          Lebih dari 40% kasus mengalami gangguan pendengaran
-          Fraktur transversal à SNHL yang parah
-          Fraktur longitudinal à CHL dan gangguan pendengaran campuran
-          Keterlibatan labirin atau koklea à SNHL disertai vertigo

2.      Pusing
-          Sering merupakan gejala lambat
3.      Kelemahan fasialis
-          Sering terjadi
-          Penting dalam memutuskan onset gejala
-         Cepat à saraf terputus à memerlukan pembedahan
-         Lambat à saraf mengalami oedema atau inflamasi
-          Parese atau paralisis onset lambat sering terjadi dan dapat tertunda selama beberapa hari atau minggu
-          Area cedera saraf fasialis:
-         Fraktur longitudinal à area perigenikulatum
-         Fraktur transversal à segmen labirin
-         Cedera tusuk à ekstratemporal, bagian stilomastoid, segmen vertikal saraf
4.      Otorea dan rinorea
-          Kebocoran cairan serebrospinal dari kerusakan tulang temporal
5.      Hipestesi fasialis dan diplopia
-          Fraktur meliputi Meckel’s cave dan permukaan superior tulang temporal atau Dorello’s canal di bawah ligament petrosfenoidalis
-          Prognosis biasanya baik

E.     Pemeriksaan Fisik
-          Tiga temuan yang sering:
-         Hemotimpanum
-         Ekimosis postaurikular (Battle’s sign)
-         Ekimosis periorbital (Racoon eyes)
-          Kelemahan saraf fasialis memerlukan evaluasi yang hati-hati
-          Kebocoran plasma: otorea dan rinorea



Pemeriksaan Penunjang


1.      Radiologi: CT Scan tulang temporal, MRI
2.      Tes pendengaran: audiogram
3.      Tes saraf fasialis
4.      Tes vestibular



F.     Penatalaksanaan
Tabel 3. Penatalaksanaan (Ling, 2001)

Tanda-Gejala
Tidak ada
Non bedah
Bedah
Gangguan pendengaran
Bisa diputuskan jika sekunder dari hematotimpanum
Amplifikasi, konvensional atau alat bantu dengar
Timpanoplasti dengan atau tanpa rekonstruksi telinga tengah
Pusing
Diharapkan resolusi spontan, jika tidak ada lesi vestibular bilateral atau sentral
Farmakologi supresi vestibular untuk stadium akut
Ablasi labirin atau seksi saraf vestibular pada kasus lama
Paralisis fasialis
Diharapkan rekoveri sempurna pada kasus onset tertunda
Perawatan suportif mata
-    Terapi fisik jika diduga paralisis long-term
-    Rehabilitasi struktural dengan teknik biofeedback yang membantu meningkatkan fungsi dan menghindari sinkinesis
Dekompresi atau memperbaiki saraf fasialis
Diperhatikan kebutuhan perawatan mata (gold weight atau tarsorrhaphy)
Otorea atau rinorea (cairan serebrospinal)
Resolusi spontan pada > 90% kasus
Elevasi HOB, drainase lumbal
Digunakan hanya setelah 2 minggu dan gagal dengan perawatan konservatif
Indikasi;
-    Kebocoran persisten
-    Meningitis rekuren
-    Pneumosefalus persisten

Prinsip Penatalaksanaan:
Menstabilkan keadaan neurologis dan keadaan yang mengancam jiwa, observasi, pemberian antibiotika. Operasi diindikasikan pada keadaan perforasi membran timpani yang menetap, gangguan pendengaran konduktif, parese fasialis dan kebocoran LCS yang menetap (Kolegium Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala dan Leher, 2008).

1.      Gangguan pendengaran
Lebih dari separuh pasien dengan fraktur temporal mengalami gangguan pendengaran dengan beberapa tingkat. Jenis dan tingkat defisitnya terkait dengan kekuatan cedera dan lokasi fraktur.  Evaluasi audiometri awal sering akan menunjukkan CHL sekunder untuk hemotympanum. Oleh karena itu disarankan bahwa audiogram harus diulang sekitar 1-2 bulan setelah cedera untuk memungkinkan hemotympanum dan efusi telinga tengah untuk selesai. Dalam pengelolaan jangka pendek CHL, Ho dan Makishima (2010) paling suka menunggu untuk menentukan apakah gangguan akan menghilang secara spontan. Namun, jika sebelumnya intervensi neurootologic direncanakan (misal: dekompresi saraf fasialis, perbaikan kebocoran cairan serebrospinal), ossiculoplasty cocok digunakan secara bersamaan untuk eksplorasi. Untuk pasien yang mengalami CHL persisten setelah penyembuhan akut.
Pasien yang mengalami SNHL ringan sampai sedang, biasanya diobati dengan amplifikasi alat bantu dengar standar. Untuk SNHL unilateral yang parah, alat bantu dengar bone anchored telah menunjukkan dengan hasil yang baik. Implantasi koklea juga telah terbukti memiliki manfaat dalam mengobati pasien dengan SNHL bilateral yang parah setelah fraktur tulang temporal (Ho dan Makishima, 2010).

2.      Cedera saraf fasialis
Cedera saraf fasialis terjadi hampir 15-20% pada fraktur longitudinal dan 50% pada fraktur transversal. Menurut konsensus umum, pembedahan tidak diperlukan pada pasien 1) didokumentasikan fungsi saraf fasialis yang normal setelah cedera terlepas dari perkembangannya, 2) kelumpuhan tidak lengkap selama tidak ada perkembangan untuk menyelesaikan kelumpuhan, dan 3) kurang dari 95% degenerasi oleh ENoG (Electroneurography).
Setelah memutuskan pada eksplorasi saraf fasialis, lokasi tersangka cedera saraf dan status pendengaran adalah dua faktor kunci dalam menentukan pendekatan yang tepat. Cedera pada saraf fasialis pada atau di distal ganglion geniculate dapat didekati melalui prosedur transmastoid. Untuk pasien yang pendengaran tidak berguna, dapat dilakukan pendekatan transmastoid-translabirintin. Untuk pasien dengan pendengaran utuh, pendekatan transmastoid-supralabrinitin atau pendekatan fossa kranial tengah dianggap (Ho dan Makishima, 2010).

3.      Otorea
Otorea pada fraktur tulang temporal biasanya terjadi dalam beberapa menit atau juga dapat lambat jika mengalir melalui nasofaring. Manajemen dimulai dengan pengukuran konservatif meliputi elevasi kepala, istirahat di tempat tidur ddengan elevasi kepala, pencahar, menghindari bersin atau mengedan, dan pada pasien tertentu dilakukan penempatan lumbar drain. Resolusi spontan dengan menajemen konservatif terjadi pada 95-100% pasien (Ho dan Makishima, 2010).
Penggunaan antibiotik profilaksis masih kontroversial, meskipun dengan masih terjadi kebocoran lebih dari 7 hari telah berkorelasi dengan insiden meningitis yang lebih tinggi. Perbaikan dengan bedah direkomendasikan untuk kasus-kasus yang bertahan 7-10 hari setelah cedera. Karena perbaikan bedah dengan cara pendekatan mastoidektomi sendiri dapat tidak memadai jika ada cacat tegmen ganda, pendekatan fosa tengah sendiri atau dalam kombinasi dengan pendekatan transmastoid harus dipertimbangkan dalam banyak kasus (Ho dan Makishima, 2010).

4.      Cedera vaskular
Cedera carotis terjadi 1-4% pada trauma tulang temporal. Untuk mengetahui fraktur kanal karotis, dilakukan CT tulang temporal dan CT maksilofasial (Ho dan Makishima, 2010).

5.      Vertigo
Biasanya self-limiting dan membaik dalam 6-12 bulan dari adaptasi sentral. Pasien dengan rasa penuh di telinga, tinitus, kehilangan pendengaran yang fluktuatif dan vertigo sama dengan pasien dengan Meniere’s disease. Episode vertigo utamanya berhubungan dengan BPPV (Benign Positional Paroxysmal Vertigo). Ini disebabkan oleh trauma otokonia yang tidak pada tempatnya dari vestibuler ke dalam ampula kanalis semisirkularis posterior. Penatalaksanaan BBPV meliputi rehabilitasi standar dan maneuver reposisi (Ho dan Makishima, 2010).

6.      Komplikasi lainnya
Beberapa dari komplikasi lambat yang jarang meliputi meningokel, ensefalokel, meningitis, dan kolesteatoma. Penatalaksanaan yang sering adalah pembedahan untuk mencegah perkembangan komplikasi intrakranial lebih lanjut (Ho dan Makishima, 2010).
7.      Tinitus
Cedera menyebabkan kerusakan sistem vestibule-koklearis juga labirin perifer – disebut konkusio labirin – atau pada struktur sentral. Peranan dari masing-masing pola kerusakan keseluruhan mungkin tergantung pada mobilitas kepala saat terjadinya cedera – konkusio labirin mengikuti pukulan terhadap kepala yang terfiksasi dan kerusakan sentral menjadi lebih umum terjadi ketika mobilitas kepala secara lebih keras mengalami akselerasi (atau deselerasi). Memukul kepala yang tetap immobile menyebabkan gelombang tekanan melalui dasar tengkorak dan gerakan yang berlebihan dari lempeng kaki stapes karena inersia tulang pendengaran. Perubahan koklea yang disebabkan oleh mekanisme ini merupakan kerusakan organ korti, mirip dengan yang disebabkan oleh noise damage.
Percepatan atau perlambatan dari kepala menyebabkan otak untuk bergerak relatif terhadap tengkorak, karena inersianya, sering dengan gerakan berputar. Dampak terhadap penyimpangan di dasar tengkorak ini menyebabkan memar pada lobus frontal dan temporal; putaran batang otak menyebabkan kerusakan; dan nervus VIII mungkin mengalami regangan atau robek (Ballantyne dan Groves, 1979).



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Fraktur tulang tengkorak dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis :

1.      Complete fracture ( fraktur lengkap ), patah pada seluruh garis tengah tulang,luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.
2.      Closed fracture (fraktur simple ), tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit masih utuh.
3.      Open fracture ( fraktur terbuka / komplikata/ kompleks), merupakan fraktur dengan luka pada kulit ( integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.

Fraktur mempunyai makna pada pemeriksaan forensik. Bentuk dari fraktur dapat menggambarkan benda penyebabnya (khususnya fraktur tulang tengkorak), arah kekerasan. Fraktur yang terjadi pada tulang yang sedang mengalami penyembuhan berbeda dengan fraktur biasanya. Jangka waktu penyembuhan tulang berbeda-beda setiap orang. Dari penampang makros dapat dibedakan menjadi fraktur yang baru, sedang dalam penyembuhan, sebagian telah sembuh, dan telah sembuh sempurna. Secara radiologis dapat dibedakan berdasarkan akumulasi kalsium pada kalus. Mikroskopis dapat dibedakan daerah yang fraktur dan daerah penyembuhan. Penggabungan dari metode diatas menjadikan akurasi yang cukup tinggi. Daerah fraktur yang sudah sembuh tidaklah dapat menjadi seperti tulang aslinya.




DAFTAR PUSTAKA

Ballantyne, John dan Groves, John. 1979. Scott-Brown’s Diseases of The Ear, Nose and Throat, Fourth edition, Volume 2 The Ear. Butterworths.

Ginat, Daniel dan Wang, Henry. 2008. Imaging Sciences Interesting Cases: Case 81. University of Rocheser Medical Center, Dept. of Imaging Center.

Ho, Ki-Hong Kevin dan Makishima, Tomoko. 2010. Temporal Bone Fracture. Grand Rounds Presentation, University of Texas Medical Branch, Dept. of Otolaryngology.

Kinney, Sam E. 1998. Chapter 160: Trauma to the Middle Ear and Temporal Bone. http://famona.tripod.com/ent/cummings/cumm160.pdf

Kolegium Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala dan Leher, 2008. Buku Acuan Modul Telinga Trauma. Edisi I.

Ling, Francis T. K. 2001. Middle Ear and Temporal Bone Trauma. http://drfling.hyperphp.com/Notes/Ch%20139%20-%20Middle%20Ear%20and%20Temporal%20Bone%20Trauma.pdf


Swartz, Joe D. dan Curtin, Hugh D. 2003. Chapter 23: Temporal Bone: Trauma. Mosby.

0 comments: