Popular Posts
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama adalah suatu sistem nilai yang diakui dan diyakini kebenarannya dan merupakan jalan men...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persaingan global merupakan momok yang mengerikan bagi para pengusaha industri ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Entomologi adalah salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari serangga. Istilah ini bera...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tumbuhan tidak selamanya bisa hidup tanpa gangguan. Kadang tumbuhan mengalami gangguan oleh b...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Judul : Kiamat Kecil Di Sempadan Pulau C. Pengarang ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Rempah-rempah telah luas dikenal sebagai pemberi cita rasa atau bumbu dan disamping itu rempa...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu alamiah atau sering disebut ilmu pengetahuan alam (natural science), merupakan pengetahu...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain d...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Al-Qur ’ an sebagai kitab suci rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam yang didalamn...
-
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manggis merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari hutan tropis yang teduh di kawa...
Kode
Blogger news
Blogroll
About
Blog Archive
-
▼
2014
(36)
-
▼
August
(36)
-
▼
Aug 26
(31)
- MAKALAH IPA DAN TEKNOLOGI
- INTRAKSI SOSIAL
- INTRAKSI SPESIAL
- MAKALAH IMAN KEPADA RASUL
- MAKALAH ILMU TAJWID
- MAKALAH ILMU FILSAFAT
- MAKALAH IBADAH MADHA DAN GHOHIRU MADHA
- HUKUM KONTRAK
- MAKALAH HIDROGEN DAN MINYAK BUMI
- MAKALAH HAMA DAN PENYAKIT
- MAKALAH HAK ASASI MANUSIA (HAM)
- MAKALAH HAKIKAT MANUSIA
- MAKALAH GIZI DAN KESEHATAN
- MAKALAH FILSAFAT
- MAKALAH FASILITAS
- FAKTUR TEMPORAL
- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDIDIKAN
- MAKALAH ENTOMOLOGI LABA-LABA
- MAKALAH DOSA BESAR DAN SYIRIK
- MAKALAH DEMAM BERDARAH
- MAKALAH DAMPAK EKONOMI
- CERPEN
- BUNGA LAWANG
- MAKALAH BUMI DAN ISINYA
- MAKALAH BUMI DAN ALAM SEMESTA
- Makalah Buah Manggis
- Basket
- Bahasa dan Masyarakat
- Bahasa dan Kebudayaan
- Aspek Pemasaran
- AGAMA (MANUSIA)
-
▼
Aug 26
(31)
-
▼
August
(36)
Categories
- makalah (36)
Jadikan Hari Mu lebih Berwarna Dengan Memabaca
Powered by Blogger.
Tuesday 26 August 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya. (smeltzer S.C & Bare B.G,2001) Fraktur adalah setiap retak
atau patah pada tulang yang utuh.( reeves C.J,Roux G & Lockhart R,2001
).(1)
Fraktur tulang
tengkorak dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis :
1. Complete fracture ( fraktur lengkap ), patah pada seluruh
garis tengah tulang,luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan
posisi tulang.
2.
Closed
fracture (fraktur simple ), tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit
masih utuh.
3. Open fracture ( fraktur terbuka / komplikata/ kompleks),
merupakan fraktur dengan luka pada kulit ( integritas kulit rusak dan ujung
tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke patahan
tulang.
Fraktur mempunyai makna pada pemeriksaan forensik. Bentuk dari fraktur
dapat menggambarkan benda penyebabnya (khususnya fraktur tulang tengkorak),
arah kekerasan. Fraktur yang terjadi pada tulang yang sedang mengalami
penyembuhan berbeda dengan fraktur biasanya. Jangka waktu penyembuhan tulang
berbeda-beda setiap orang. Dari penampang makros dapat dibedakan menjadi
fraktur yang baru, sedang dalam penyembuhan, sebagian telah sembuh, dan telah
sembuh sempurna. Secara radiologis dapat dibedakan berdasarkan akumulasi
kalsium pada kalus. Mikroskopis dapat dibedakan daerah yang fraktur dan daerah
penyembuhan. Penggabungan dari metode diatas menjadikan akurasi yang cukup
tinggi. Daerah fraktur yang sudah sembuh tidaklah dapat menjadi seperti tulang
aslinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fraktur Temporal
Fraktur tulang temporal
merupakan konsultasi kegawatdaruratan yang sering dihadapi oleh spesialis
otolaringologi (Ho dan Makishima, 2010). Pengetahuan anatomi dari struktur
vital dalam tulang temporal sangat penting untuk diagnosis yang tepat dan
manajemen cedera tersebut. Evaluasi yang tepat dapat memperhitungkan spektrum
keparahan dan gejala-gejala yang terjadi.
B. Epidemiologi dan Insidensi
Fraktur tulang temporal
terjadi sekitar 14-22% dari semua cedera tengkorak. Perbandingan antara
laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Sebagian besar fraktur unilateral,
sedangkan fraktur bilateral berkisar 9-20%. Pasien anak-anak dengan fraktur
tulang temporal mencapai 8-22% (Ho dan Makishima, 2010).
Mekanisme utama dari
cedera meliputi kecelakaan kendaraan bermotor (12-47%), penganiayaan (10-37%),
jatuh (16-40%), dan luka tembak (3-33%). Dengan pengembangan teknologi
keselamatan mobil, kejadian fraktur akibat kecelakaan kendaraan bermotor
mengalami penurunan. Di sisi lain, peningkatan tingkat kejahatan dengan
kekerasan lebih sering menyebabkan fraktur tulang temporal (Ho dan Makishima,
2010).
C. Klasifikasi
Fraktur tulang temporal
dibagi menjadi 4 berdasarkan orientasi relatif terhadap sumbu panjang tulang
petrosa, yaitu (Swartz dan Curtin, 2003):
1.
Fraktur longitudinal
2.
Fraktur tranversal
3.
Fraktur oblik
4.
Fraktur campuran
1. Fraktur
longitudinal (70-90%)
Fraktur
longitudinal tulang temporal paralel terhadap sumbu panjang dari piramida
petrosa dan biasanya terkait dengan trauma tumpul temporoparietal (Ho dan
Makishima, 2010; Swartz dan Curtin, 2003). Sekitar 10% berhubungan dengan
ekimosis yang terlihat di prosesus mastoid (Battle’s sign). Fraktur ini
melintasi telinga tengah dan sangat sering dikaitkan dengan dislokasi tulang-tulang
pendengaran.
Struktur
yang paling sering terlibat adalah membran timpani, atap telinga tengah, dan
bagian anterior dari apeks petrosa (Ho dan Makishima, 2010). Selain itu,
fraktur longitudinal dapat ke arah anterior menuju tuba eustachius dan fosa
kranial tengah, dan dapat ke arah posterior relatif terhadap labirin, menuju
foramen jugularis dan memperluas ke dalam fosa posterior (Swartz dan Curtin,
2003).
Sekitar
15-20% akan melibatkan saraf fasialis dan cedera terjadi di dekat ganglion
genikulatum atau di bagian horizontal. Kelumpuhan fasialis sering terjadi pada
onset yang lambat, berhubungan dengan edema daripada gangguan langsung dari
sarafnya. Keterlibatan vestibular dan defisit sensorineural tidak sering
terjadi dan dikaitkan dengan efek benturan daripada trauma langsung pada
labirin vestibular dan koklea (Ho dan Makishima, 2010).
Perdarahan di telinga
tengah yang kemudian keluar menjadi perdarahan dari kanalis eksternal merupakan
tanda dari fraktur longitudinal, yang berlawanan dengan perdarahan di belakang
membran timpani pada fraktur transversal. Kebocoran cairan serebrospinal dapat
terjadi pada fraktur longitudinal, namun kurang umum dibandingkan pada fraktur
transversal (Kinney, 1998).
Gambar
1. Gambaran fraktur longitudinal (Swartz dan Curtin, 2003)
Terdapat dua subtipe
berdasarkan utamanya lokasi asal, yaitu posterior dan anterior (Swartz dan
Curtin, 2003). Subtipe posterior sering berasal dari prosesus mastoid atau
bagian posterior bagian skuamosa tulang temporal dan berakhir di foramen
laserum. Jenis ini biasanya tidak melibatkan fosa glenoid. Sedangkan subtipe
anterior berasal dari bagian depan bagian skuamosa tulang temporal dan
melintasi tegmen timpani sampai apeks petrosa atau melewati sepanjang tuba
eustachius sampai foramen laserum. Jenis ini dapat mengakibatkan kerusakan
arteri meningeal medius dan perkembangan perdarahan epidural, dan jenis ini biasanya
melibatkan fosa glenoid.
2. Fraktur
transversal (20-30%)
Fraktur transversal
tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari piramida petrosa dan
biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau temporoparietal (Ho dan Makishima,
2010; Swartz dan Curtin, 2003). Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum
melalui fosa posterior, melalui pyramid petrosa, termasuk kapsul otik dan ke
dalam fosa kranial tengah. Kapsul otik dan kanalis auditorius internal sering
terlibat juga (Ho dan Makishima, 2010).
Fraktur ini sering
terjadi pada pasien dengan cedera yang parah dan kematian dari pukulan itu
sendiri dapat terjadi cepat. Cedera ini sering diikuti dengan gangguan
pendengaran sensorineural yang parah, dan dapat disebabkan karena kerusakan
fungsi vestibular. Kerusakan ini berhubungan dengan cedera benturan langsung
terhadap telinga dalam atau berhubungan dengan fraktur yang melalui kapsul
otik. Ini diperkirakan bahwa paralisis fasialis, karena gangguan saraf
fasialis, dapat terjadi pada 50% kasus, tercatat cepat terjadi dan mungkin
permanen jika tidak dioperasi (Kinney, 1998).
Pada fraktur
tranversal, sering kali terjadi perdarahan di telinga tengah, namun karena
membrane timpani intak, terjadi hematotimpanum yang dapat dilihat tanpa ada
perdarahan yang keluar. Otorea cairan serebrospinal umum terjadi dan paling
sering dideteksi dengan aliran cairan jernih dari tuba eustachius ke dalam
nasofaring (Kinney, 1998).
Gambar
2. Gambaran fraktur transversal (Swartz dan Curtin, 2003)
Terdapat dua subtipe
berdasarkan lokasi terhadap penonjolan arkuata (tanda sepanjang permukaan
superior petrosa yang secara kasar sama dengan posisi apeks kurva kanalis
semisirkularis superior), yaitu medial dan lateral (Swartz dan Curtin, 2003). Subtipe
medial melintasi fundus (aspek lateral) dari kanalis auditori internal. Pada
jenis ini, gangguan pendengaran sensorineural terjadi sekunder karena transeksi
saraf koklear dan seringkali terjadi lengkap dan permanen. Sedangkan subtipe
lateral melintasi lebih ke labirin tulang daripada kanalis auditori internal.
Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran sensorineural dan berkaitan
dengan fistula perilimfatik dan hubungan telinga tengah dan telinga dalam
akibat fraktur.
Gambar
3. Fraktur Tranversal, suptipe lateral (Swartz dan Curtin, 2003)
a.
Gambar
CT aksial, telinga kanan. Fraktur (panah) dimulai pada posterior permukaan
petrosa di sekitar akuaduktus vestibular dan merusak bagian anterior tegmen
timpani serta bagian skuamosa petrosa.
b.
Gambat
CT aksial, telinga kanan, lebih rendah, juga memperlihatkan gangguan fraktur
promontorium (panah). Perhatikan hematotimpanum difus.
Gambar
4. Fraktur Tranversal, suptipe medial (Swartz dan Curtin, 2003)
a.
Fraktur
linier (panah) mulai dari permukaan petrosa posterior di sekitar akuaduktus
vestibular dan meluas melalui fundus kanalis auditor internal terhadap genu
pertama kanal saraf fasialis
b.
Pneumovestibular
(panah)
Tabel
1. Perbedaan Fraktur Longitudinal dan Fraktur Transversal (Ling, 2001)
Tipe
|
Longitudinal
|
Transversal
|
Lokasi
|
Melalui
garis sutura petroskuamosa dan berlanjut ke arah anterior menuju kapsul otik
Melalui
superior CAE, telinga tengah, aksis panjang dari pyramid petrosa
|
Melibatkan
kapsul otik atau kanalis auditori internal
|
Frekuensi
|
70-80%
|
20-30%
|
Gangguan
pendengaran
|
Konduktif
|
Sensorineural
(biasanya parah)
|
Paralisis
n. fasialis
|
15-20%
Cedera
pada ganglion genikulatum atau pada bagian horizontal saraf
|
50%
|
Derajat
trauma
|
Rendah
hingga tinggi
Trauma
tumpul lateral
|
Biasanya
tinggi
Trauma
oksipital atau frontal
|
Komplikasi
|
- Kerusakan
osikular (umum)
- CHL
- Vertigo
(jarang)
- Perdarahan
di kanalis auditori eksternal
- Kebocoran
cairan serebrospinal (kadang)
|
- Ruptur
kapsul otik dan kanalis auditori internal
- SNHL
- Vertigo
(umum)
- Kebocoran
cairan serebrospinal (umum)
|
3. Fraktur oblik
Fraktur oblik ini
meluas dari bagian skuamosa tulang temporal terhadap piramida petrosa dengan
sering keterlibatan sendi temporomandibular. Fraktur oblik ini sering
mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif akibat dislokasi incudostapedial.
Hematotimpanum dan otorea juga sering terjadi pada fraktur oblik. Keterlibatan
saraf fasialis kurang umum daripada pada fraktur transversal (Ginat dan Wang,
2008).
4. Fraktur
campuran
Anatomi dasar tengkorak
mengurangi kemungkinan untuk fraktur longitudinal atau transversal yang murni. Fraktur
campuran dengan garis fraktur meluas di hampir segala arah di bagian basal
tengkorak mungkin dapat dilihat (Kinney, 1998).
Akhir-akhir ini, juga
terdapat peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi perenggangan
kapsul otik (otic capsule sparing/OCS) dan kerusakan kapsul otik (otic capsule
disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi lebih baik terhadap sekuel klinis
(Ho dan Makishima, 2010). Fraktur OCS lebih sering terjadi (>90%) daripada
OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya insidensi cedera saraf fasialis
(30-50%), SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4 kali lebih tinggi
daripada OCS).
D.
Diagnosis
Anamnesis
Tabel
2. Keluhan Utama Fraktur Tulang Temporal (Ling, 2001)
Gejala
|
Diagnosis Banding
|
Onset
|
Prioritas Terapi
|
Gangguan
pendengaran
|
Konduktif
atau sensorineural
|
Awal
|
Tidak
mendesak
|
Pusing
|
Perifer
atau sentral
|
Bervariasi
|
Tidak
mendesak
|
Kelemahan
fasialis
|
Sentral
atau perifer
|
Penting
untuk diputuskan
|
Intervensi
awal
|
Hipestesi
fasialis
|
Defisit
saraf kranialis V intratemporal atau cedera fasialis
|
Biasanya
onset lambat jika intrakranial
|
Rekoveri
spontan sebagai terapi general
|
Diplopia
|
Defisit
saraf kranialis VI atau cedera mata
|
Biasanya
lambat
|
Rekoveri
spontan sebagai terapi general
|
1. Gangguan
pendengaran
-
Lebih dari 40% kasus mengalami gangguan
pendengaran
-
Fraktur transversal à
SNHL yang parah
-
Fraktur longitudinal à
CHL dan gangguan pendengaran campuran
-
Keterlibatan labirin atau koklea à
SNHL disertai vertigo
2. Pusing
-
Sering merupakan gejala lambat
3. Kelemahan
fasialis
-
Sering terjadi
-
Penting dalam memutuskan onset gejala
-
Cepat à saraf terputus à
memerlukan pembedahan
-
Lambat à saraf mengalami
oedema atau inflamasi
-
Parese atau paralisis onset lambat
sering terjadi dan dapat tertunda selama beberapa hari atau minggu
-
Area cedera saraf fasialis:
-
Fraktur longitudinal à
area perigenikulatum
-
Fraktur transversal à
segmen labirin
-
Cedera tusuk à
ekstratemporal, bagian stilomastoid, segmen vertikal saraf
4. Otorea
dan rinorea
-
Kebocoran cairan serebrospinal dari
kerusakan tulang temporal
5. Hipestesi
fasialis dan diplopia
-
Fraktur meliputi Meckel’s cave dan permukaan superior tulang temporal atau Dorello’s canal di bawah ligament
petrosfenoidalis
-
Prognosis biasanya baik
E. Pemeriksaan Fisik
-
Tiga temuan yang sering:
-
Hemotimpanum
-
Ekimosis postaurikular (Battle’s sign)
-
Ekimosis periorbital (Racoon eyes)
-
Kelemahan saraf fasialis memerlukan
evaluasi yang hati-hati
-
Kebocoran plasma: otorea dan rinorea
Pemeriksaan
Penunjang
1. Radiologi:
CT Scan tulang temporal, MRI
2. Tes
pendengaran: audiogram
3. Tes
saraf fasialis
4. Tes
vestibular
F. Penatalaksanaan
Tabel
3. Penatalaksanaan (Ling, 2001)
Tanda-Gejala
|
Tidak ada
|
Non bedah
|
Bedah
|
Gangguan
pendengaran
|
Bisa
diputuskan jika sekunder dari hematotimpanum
|
Amplifikasi,
konvensional atau alat bantu dengar
|
Timpanoplasti
dengan atau tanpa rekonstruksi telinga tengah
|
Pusing
|
Diharapkan
resolusi spontan, jika tidak ada lesi vestibular bilateral atau sentral
|
Farmakologi
supresi vestibular untuk stadium akut
|
Ablasi
labirin atau seksi saraf vestibular pada kasus lama
|
Paralisis
fasialis
|
Diharapkan
rekoveri sempurna pada kasus onset tertunda
|
Perawatan
suportif mata
- Terapi
fisik jika diduga paralisis long-term
- Rehabilitasi
struktural dengan teknik biofeedback yang membantu meningkatkan fungsi dan
menghindari sinkinesis
|
Dekompresi
atau memperbaiki saraf fasialis
Diperhatikan
kebutuhan perawatan mata (gold weight
atau tarsorrhaphy)
|
Otorea
atau rinorea (cairan serebrospinal)
|
Resolusi
spontan pada > 90% kasus
|
Elevasi
HOB, drainase lumbal
|
Digunakan
hanya setelah 2 minggu dan gagal dengan perawatan konservatif
Indikasi;
- Kebocoran
persisten
- Meningitis
rekuren
- Pneumosefalus
persisten
|
Prinsip Penatalaksanaan:
Menstabilkan keadaan
neurologis dan keadaan yang mengancam jiwa, observasi, pemberian antibiotika.
Operasi diindikasikan pada keadaan perforasi membran timpani yang menetap, gangguan
pendengaran konduktif, parese fasialis dan kebocoran LCS yang menetap (Kolegium
Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala dan Leher, 2008).
1. Gangguan
pendengaran
Lebih
dari separuh pasien dengan fraktur temporal mengalami gangguan pendengaran
dengan beberapa tingkat. Jenis dan tingkat defisitnya terkait dengan kekuatan
cedera dan lokasi fraktur. Evaluasi
audiometri awal sering akan menunjukkan CHL sekunder untuk hemotympanum. Oleh
karena itu disarankan bahwa audiogram harus diulang sekitar 1-2 bulan setelah
cedera untuk memungkinkan hemotympanum dan efusi telinga tengah untuk selesai.
Dalam pengelolaan jangka pendek CHL, Ho dan Makishima (2010) paling suka
menunggu untuk menentukan apakah gangguan akan menghilang secara spontan.
Namun, jika sebelumnya intervensi neurootologic
direncanakan (misal: dekompresi saraf fasialis, perbaikan kebocoran cairan
serebrospinal), ossiculoplasty cocok
digunakan secara bersamaan untuk eksplorasi. Untuk pasien yang mengalami CHL
persisten setelah penyembuhan akut.
Pasien
yang mengalami SNHL ringan sampai sedang, biasanya diobati dengan amplifikasi
alat bantu dengar standar. Untuk SNHL unilateral yang parah, alat bantu dengar bone anchored telah menunjukkan dengan
hasil yang baik. Implantasi koklea juga telah terbukti memiliki manfaat dalam
mengobati pasien dengan SNHL bilateral yang parah setelah fraktur tulang
temporal (Ho dan Makishima, 2010).
2. Cedera
saraf fasialis
Cedera
saraf fasialis terjadi hampir 15-20% pada fraktur longitudinal dan 50% pada
fraktur transversal. Menurut konsensus umum, pembedahan tidak diperlukan pada
pasien 1) didokumentasikan fungsi saraf fasialis yang normal setelah cedera
terlepas dari perkembangannya, 2) kelumpuhan tidak lengkap selama tidak ada
perkembangan untuk menyelesaikan kelumpuhan, dan 3) kurang dari 95% degenerasi
oleh ENoG (Electroneurography).
Setelah
memutuskan pada eksplorasi saraf fasialis, lokasi tersangka cedera saraf dan
status pendengaran adalah dua faktor kunci dalam menentukan pendekatan yang
tepat. Cedera pada saraf fasialis pada atau di distal ganglion geniculate dapat
didekati melalui prosedur transmastoid. Untuk pasien yang pendengaran tidak
berguna, dapat dilakukan pendekatan transmastoid-translabirintin. Untuk pasien
dengan pendengaran utuh, pendekatan transmastoid-supralabrinitin atau
pendekatan fossa kranial tengah dianggap (Ho dan Makishima, 2010).
3. Otorea
Otorea
pada fraktur tulang temporal biasanya terjadi dalam beberapa menit atau juga
dapat lambat jika mengalir melalui nasofaring. Manajemen dimulai dengan
pengukuran konservatif meliputi elevasi kepala, istirahat di tempat tidur
ddengan elevasi kepala, pencahar, menghindari bersin atau mengedan, dan pada
pasien tertentu dilakukan penempatan lumbar
drain. Resolusi spontan dengan menajemen konservatif terjadi pada 95-100%
pasien (Ho dan Makishima, 2010).
Penggunaan
antibiotik profilaksis masih kontroversial, meskipun dengan masih terjadi
kebocoran lebih dari 7 hari telah berkorelasi dengan insiden meningitis yang
lebih tinggi. Perbaikan dengan bedah direkomendasikan untuk kasus-kasus yang
bertahan 7-10 hari setelah cedera. Karena perbaikan bedah dengan cara
pendekatan mastoidektomi sendiri dapat tidak memadai jika ada cacat tegmen
ganda, pendekatan fosa tengah sendiri atau dalam kombinasi dengan pendekatan
transmastoid harus dipertimbangkan dalam banyak kasus (Ho dan Makishima, 2010).
4. Cedera
vaskular
Cedera
carotis terjadi 1-4% pada trauma tulang temporal. Untuk mengetahui fraktur
kanal karotis, dilakukan CT tulang temporal dan CT maksilofasial (Ho dan
Makishima, 2010).
5. Vertigo
Biasanya
self-limiting dan membaik dalam 6-12
bulan dari adaptasi sentral. Pasien dengan rasa penuh di telinga, tinitus,
kehilangan pendengaran yang fluktuatif dan vertigo sama dengan pasien dengan
Meniere’s disease. Episode vertigo utamanya berhubungan dengan BPPV (Benign
Positional Paroxysmal Vertigo). Ini disebabkan oleh trauma otokonia yang tidak
pada tempatnya dari vestibuler ke dalam ampula kanalis semisirkularis
posterior. Penatalaksanaan BBPV meliputi rehabilitasi standar dan maneuver
reposisi (Ho dan Makishima, 2010).
6. Komplikasi
lainnya
Beberapa
dari komplikasi lambat yang jarang meliputi meningokel, ensefalokel,
meningitis, dan kolesteatoma. Penatalaksanaan yang sering adalah pembedahan
untuk mencegah perkembangan komplikasi intrakranial lebih lanjut (Ho dan
Makishima, 2010).
7. Tinitus
Cedera
menyebabkan kerusakan sistem vestibule-koklearis juga labirin perifer – disebut
konkusio labirin – atau pada struktur sentral. Peranan dari masing-masing pola
kerusakan keseluruhan mungkin tergantung pada mobilitas kepala saat terjadinya
cedera – konkusio labirin mengikuti pukulan terhadap kepala yang terfiksasi dan
kerusakan sentral menjadi lebih umum terjadi ketika mobilitas kepala secara
lebih keras mengalami akselerasi (atau deselerasi). Memukul kepala yang tetap immobile menyebabkan gelombang tekanan
melalui dasar tengkorak dan gerakan yang berlebihan dari lempeng kaki stapes
karena inersia tulang pendengaran. Perubahan koklea yang disebabkan oleh
mekanisme ini merupakan kerusakan organ korti, mirip dengan yang disebabkan
oleh noise damage.
Percepatan
atau perlambatan dari kepala menyebabkan otak untuk bergerak relatif terhadap
tengkorak, karena inersianya, sering dengan gerakan berputar. Dampak terhadap
penyimpangan di dasar tengkorak ini menyebabkan memar pada lobus frontal dan
temporal; putaran batang otak menyebabkan kerusakan; dan nervus VIII mungkin
mengalami regangan atau robek (Ballantyne dan Groves, 1979).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fraktur tulang
tengkorak dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis :
1. Complete fracture ( fraktur lengkap ), patah pada seluruh
garis tengah tulang,luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan
posisi tulang.
2.
Closed
fracture (fraktur simple ), tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit
masih utuh.
3. Open fracture ( fraktur terbuka / komplikata/ kompleks),
merupakan fraktur dengan luka pada kulit ( integritas kulit rusak dan ujung
tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke patahan
tulang.
Fraktur mempunyai makna pada pemeriksaan forensik. Bentuk dari fraktur
dapat menggambarkan benda penyebabnya (khususnya fraktur tulang tengkorak),
arah kekerasan. Fraktur yang terjadi pada tulang yang sedang mengalami
penyembuhan berbeda dengan fraktur biasanya. Jangka waktu penyembuhan tulang
berbeda-beda setiap orang. Dari penampang makros dapat dibedakan menjadi
fraktur yang baru, sedang dalam penyembuhan, sebagian telah sembuh, dan telah
sembuh sempurna. Secara radiologis dapat dibedakan berdasarkan akumulasi kalsium
pada kalus. Mikroskopis dapat dibedakan daerah yang fraktur dan daerah
penyembuhan. Penggabungan dari metode diatas menjadikan akurasi yang cukup
tinggi. Daerah fraktur yang sudah sembuh tidaklah dapat menjadi seperti tulang
aslinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ballantyne, John dan Groves, John. 1979.
Scott-Brown’s Diseases of The Ear, Nose and Throat, Fourth edition, Volume 2
The Ear. Butterworths.
Ginat, Daniel dan Wang, Henry. 2008. Imaging
Sciences Interesting Cases: Case 81. University of Rocheser Medical Center,
Dept. of Imaging Center.
Ho, Ki-Hong Kevin dan Makishima, Tomoko. 2010.
Temporal Bone Fracture. Grand Rounds Presentation, University of Texas Medical
Branch, Dept. of Otolaryngology.
Kinney, Sam E. 1998. Chapter 160: Trauma to the
Middle Ear and Temporal Bone. http://famona.tripod.com/ent/cummings/cumm160.pdf
Kolegium Ilmu Kesehatan THT Bedah Kepala dan Leher,
2008. Buku Acuan Modul Telinga Trauma. Edisi I.
Ling, Francis T. K. 2001. Middle Ear and Temporal
Bone Trauma. http://drfling.hyperphp.com/Notes/Ch%20139%20-%20Middle%20Ear%20and%20Temporal%20Bone%20Trauma.pdf
Swartz, Joe D. dan Curtin, Hugh D. 2003. Chapter 23:
Temporal Bone: Trauma. Mosby.
Labels:
makalah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment