Popular Posts

Kode

Blogger news

Blogroll

About

Categories

Jadikan Hari Mu lebih Berwarna Dengan Memabaca

Powered by Blogger.
Tuesday 26 August 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 1999).
B.     Rumusan Masalah
Faktor-faktor penghambat pendidikan umum di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun faktor-faktor penghambat yang khusus dalam dunia pendidikan di indonesia yaitu:
1.            Rendahnya sarana fisik
2.            Rendahnya kualitas guru
3.            Rendahnya prestasi siswa
4.            Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
5.            Mahalnya biaya pendidikan.
            Permasalahan-permasalahan mengenai faktor-faktor  penghambat pendidikan yang tersebut di atas akan dibahas secara lebih rinci dalam makalah ini.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
B.     Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.


3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

C. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
D. Komponen-komponen Pendukung dan Penghambatan dalam Proses Pendidikan
1. Komponen pendukung
Komponen adalah bagian dari suatu system yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan system. Komponen pendidikan berarti bagian-bagian dari system proses pendidikan yang menentukan berhasil dan tidak. Pertama, komponen  perangkat  keras  (hardware), yang  meliputi  ruangan  belajar,  peralatan praktik, laboratorium, perpustakaan; kedua, komponen perangkat lunak (software) yaitu meliputi kurikulum, program  pengajaran,  manajemen  sekolah,  system pembelajaran; ketiga, apa yang disebut dengan perangkat pikir (brainware) yaitu menyangkut keberadaan guru, kepala sekolah, anak didik dan orang-orang yang terkait dalam proses pendidikan itu sendiri.
Dari tiga kelompok komponen di atas, maka yang menjadi penentuaknya proses pendidikan. Bahwa dapat diartikan untuk berlangsungnya proses pendidikan yang sukses dan berhasil diperlukan beberapa komponen-komponen pendukung.
Ada  beberapa  komponen  yang  menentukan  kesuksesan  dan  keberhasilan dalam pendidikan. Komponen-komponen itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Suksesnya belajar dan berhasilnya suatu pendidikan sangat (dominan) ditentukan oleh komponen tenaga pendidik, dalam hal ini guru di sekolah. Meskipun  di  suatu  sekolah fasilitasnya memadai, bangunannya bertingkat; meskipun kurikulumnya lengkap, program pengajarannya hebat, manajemennya  ketat,  sistem  pembelajarannya  oke,  tapi  para  tenaga pengajarnya (guru) sebagai aplikator di lapangan tidak memiliki kemampuan(kualitas) dalam penyampaian materi, cakap menggunakan alat-alat tekhnologi yang  mendukung pembelajaran,  maka  tujuan  pendidikan  akan  sulit  dicapaisebagaimana mestinya. Disini hendaknya setiap guru harus memahami fungsinya karena sangat besar pengaruhnya terhadap cara bertindak dan berbuat dalam menunaikan pekerjaan sehari-hari dikelas dan di masyarakat. Guru yang memahami kedudukan dan fungsinya sebagai pendidik professional, selalu terdorong untuk tumbuh dan berkembang sebagai perwujudan perasaan dan sikap tidak puas terhadap pendidikan. Persiapan yang harus diikuti, hendaknya sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (Nawawi, 1989:121). Mantan Mendikbud, Fuad Hassan juga pernah mengingatkan, bahwa tanpa guru yang menguasai materinya mustahil suatu sistem pendidikan berikut kurikulum serta muatan kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana yang diidealkan.
2. Komponen Penghambat
Selain komponen pendukung, tentu juga ada komponen penghambatnya. Hambatan itu bisa datang dari guru sendiri, dari peserta didik, lingkungan keluarga ataupun karena factor fasilitas (Nawawi, 1989:130).
a.       Guru
Guru sebagai seorang pendidik, tentunya ia juga mempunyai banyak kekurangan. Kekurangan-kekurangan itu bisa menjadi penyebab terhambatnya kreatifitas pada diri guru tersebut. Diantaranya ialah:
1.        Tipe kepemimpinan guru
Tipe kepemimpinan guru dalam proses belajar mengajar yang otoriter dan kurang demokratis akan menimbulkan sikap pasif peserta didik. Sikap peserta didik ini merupakan sumber masalah pengelolaan kelas. (Rohani dan Ahmadi, 1991:151).
Siswa hanya duduk rapi mendengarkan dan berusaha memahami kaidah-kaidah pelajaran yang diberikan guru tanpa diberikan kesempatan untuk berinisiatif dan mengembangkan kreativitas dan daya nalarnya (Masnur dkk, 1987:109).
2.        Gaya guru yang monoton
Gaya guru yang monoton akan menimbulkan kebosanan bagi peserta didik, baik berupa ucapak ketika menerangkan pelajaran ataupun tindakan. Ucapan guru dapat mempengaruhi motivasi siswa.
3.        Kepribadian guru
Seorang guru yang berhasil, dituntut untuk bersifat hangat, adil, obyektif dan bersifat fleksibel sehingga terbina suasana emosional yang menyenangkan dalam proses belajar mengajar. Artinya guru menciptakan suasana akrab dengan anak didik dengan selalu menunjukan antusias pada tugas serta pada kreativitas semua anak didik tanpa pandang bulu.
4.        Pengetahuan guru
Terbatasnya pengetahuan guru terutama masalah pengelolaan dan pendekatan pengelolaan, baik yang sifatnya teoritis maupun pengalaman praktis, sudah barang tentu akan menghambat perwujudan pengelolaan kelas dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, pengetahuan guru tentang pengelolaan kelas sangat diperlukan (Wijaya dan Rusyan, 1994:136).
5.        Terbatasnya kesempatan guru untuk memahami tingkah laku peserta didik dan latar belakangnya
Terbatasnya kesempatan guru untuk memahami tingkah laku peserta didik dan latar belakangnya dapat disebabkan karena kurangnya usaha guru untuk dengan sengaja memahami peserta didik dan latar belakangnya. Karena pengelolaan pusat belajar harus disesuaikan dengan minat, perhatian dan bakat para siswa, maka siswa yang memahami pelajaran secara cepat, rata-rata dan lamban memerlukan pengelolaan secara khusus menurut kemampuannya. Semua hal diatas member petunjuk kepada guru bahwa dalam proses belajar mengajar diperlukan pemahaman awal tentang perbedaan siswa satu sama lain (Wijaya dan Rusyan, 1994:136).
b.      Peserta didik
Peserta didik dalam kelas dapat dianggap sebagai seorang individu dalam suatu masyarakat kecil yaitu kelas dan sekolah. Mereka harus tahu hak-haknya sebagai bagian dari suatu kesatuan masyarakat disamping mereka juga harus tahu akan kewajibannya dan keharusan menghormati hak-hak orang lain dan teman-teman sekelasnya.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran yang tinggi dari peserta didik akan hak serta kewajibannya dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
c.       Keluarga
Tingkah laku peserta didik didalam kelas merupakan pencerminan keadaan keluarganya. Sikap otoriter dari orang tua akan tercermin dari tingkah laku peserta didik yang agresif dan apatis. Problem klasik yang dihadapi guru memang banyak yang berasal dari lingkungan keluarga. Kebiasaan yang kurang baik dari lingkungan keluarga seperti tidak tertib, tidak patuh pada disiplin, kebebasan yang berlebihan atau terlampau terkekang merupakan latar belakang yang menyebabkan peserta didik melanggar di kelas.
d.      Fasilitas
Fasilitas yang ada merupakan factor penting upaya guru memaksimalkan programnya, fasilitas yang kurang lengkap akan menjadi kendala yang berarti bagi seorang guru dalam beraktifitas. Kendala tersebut ialah:
1.             Jumlah peserta didik didalam kelas yang sangat banyak
2.             Besar atau kecilnya suatu ruangan kelas yang tidak sebanding dengan jumlah siwa
3.             Keterbatasan alat penunjang mata pelajaran (Rohani dan Ahmadi, 1992: 152-154).
E. Status Pendidikan Di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit”ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu.Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh system pendidikan yang ada. Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia,menghasilkan ”manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar berfikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (efektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang diciptakan manusia siap pakai.  Dan ”siap pakai” disini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industry dan teknologi.
Ada dua factor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu:
1)      Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Depatemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan. Dalam hal ini, interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
2)      Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya. Dimana, masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.

F. Faktor Penghambat Pendidikan di Indonesia
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Fakto-faktor tersebut yaitu:
1.    Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboraturium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboraturium dan sebagainya.
2.      Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
3.    Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan  pekerjaan  sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
4.    Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA,1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang di survey di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61,    ke-68, ke-73, dan ke-75.
5.    Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas  pada tingkat sekolah dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jendral Binbaga Departemen  Agama tahun 2000 menunjukkan angka partisipasi murni (AMP) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa) pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka partisipasi murni pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54,8% (9,4 juta siswa).
6.    Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusa SMU sebesar 25,47 %, Diploma / SO sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.                                                            
7.    Mahalnya biaya  pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal, kalimat ini yang sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan  masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari tamn kanak – kanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT) membuat masyarakat miskin  tidak boleh sekolah.

8.    Pembelajaran hanya pada buku paket
Di indonesia telah berganti beberapa kurikulum dari KBK menjadi KTSP. Hampir setiap menteri mengganti kurikulum lama dengan kurikulum yang baru. Namun adakah yang berbeda dari kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah? Tidak, karena pembelajaran di sekolah sejak zaman dulu masih memakai kurikulum buku paket. Sejak era 60-70an, pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apapun kurikulumnya, guru hanya mengenal buku paket. Materi dalam buku paketlah yang menjadi acuan dan guru tidak mencari sumber referensi lain.
9.    Mengajar Satu Arah
Metode pembelajaran yang menjadi favorit guru mungkin hanya satu, yaitu metode berceramah satu arah. Karena berceramah itu mudah dan ringan, tanpa modal, tanpa tenaga, tanpa persiapan yang rumit.  Metode ceramah menjadi metode terbanyak yang dipakai guru karena memang hanya itulah metode yang benar-benar dikuasai sebagain besar guru. Pernahkah guru mengajak anak berkeliling sekolahnya untuk belajar ? Pernahkah guru membawa siswanya melakukan percobaan di alam lingkungan sekitar ? Atau pernahkah guru membawa seorang ilmuwan langsung datang di kelas untuk menjelaskan profesinya?
10.  Aturan yang Mengikat
Ini tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sekolah seharusnya memiliki kurikulum sendiri sesuai dengan karakteristiknya.
11.   Guru tak Menanamkan Diskusi Dua Arah
Lihatlah pembelajaran di ruang kelas. Sepertinya sudah diseragamkan. Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja, mendengarkan guru menjelaskan. seolah-olah Anak “Dipaksa” mendengar dan mendapatkan informasi sejak pagi sampai siang, belum lagi ada sekolah yang menerapkan Full Days. Anak diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam saat guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih untuk bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak berani bertanya. Selesai mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana kelas. Yang bertanya biasanya anak-anak itu saja.
12.  Metode Pertanyaan Terbuka tak Dipakai
Contoh negara yang menggunakan pertanyaan terbuka adalah Finlandia. Dalam setiap ujian, siwa boleh menjawab soal dengan membaca buku. Guru Indonesia belum siap menerapkan ini karena masih kesulitan membuat soal terbuka.

13.  Budaya Mencontek
Siswa menyontek itu biasa terjadi. Tapi apakah kita tahu kalau "guru juga menyontek" ? Ini lebih parah. Lihatlah tes-tes yang diikuti guru, tes pegawai negeri yang diikuti guru, menyontek telah menjadi budaya sendiri.
14. Pendidikan di Indonesia Mahal
Pepatah barat kaum kapitalis menyebutkan  “tidak ada sarapan pagi yang gratis”. Impian untuk dapat mengenyam pendidikan di PTN favorit seakan dihadang ranjau yang membahayakan masa depannya.
 Pihak PTN berpikir bahwa kampus yang mereka kelola sangat marketable sehingga merekapun mengikuti hukum ekonomi, “biaya tinggi mengikuti permintaan yang naik”. Memang cukup dilematis, disatu sisi masyarakat dan negara selalu ingin meningkatkan kemampuan atau kecerdasan penerus bangsanya tetapi secara paradoks, masyarakat telah dibelenggu oleh biaya pendidikan yang mahal dan membuat seolah olah hanya kaum yang berduitlah yang mampu menyekolahkan anaknya Meski secara resmi pembukaan pasar bebas bidang pendidikan di Indonesia berlaku mulai tahun 2006 namun invasi pendidikan asing yang berimplikasi pada meningkatnya biaya pendidikan sudah lama terasa. Memang sebuah angka partisipasi pendidikan yang masih dibawah standar. Dan dengan berbekal ini, pendidikan tinggi di Indonesia semakin mahal yang semakin menjauhkan masyarakat menengah ke bawah dengan keinginan untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi negeri favorit yang murah.
15.  Pendidikan di Indonesia Tidak Terfokus
Pendidikan di Indonesia selama ini terkesan tidak terfokus, ganti menteri pendidikan maka ganti juga kurikulum dan sistem pendidikannya. Pendidikan di Indonesia kurang membentuk kepribadian akademis (academic personality) yang utuh. Kepribadian akademis sangat penting dimiliki oleh pelaku pendidikan (anak didik dan pendidik) yang akan maupun yang sudah menguasai ilmu pengetahuan. Kepribadian akademislah yang dapat membedakan pelaku pendidikan dengan masyarakat umum lainnya. Diskusi yang bersifat dialog jarang terjadi dalam proses pendidikan kita, bersuara kadangkala diartikan keributan yang dikaitkan dengan tanda bahwa anak yang bersangkutan tidak disiplin atau bahkan dianggap bodoh. 
Kondisi pendidikan utamanya di perguruan tinggi dewasa ini terlihat kurang kondusif dan kurang konstruktif karena terjadi gejala sosial yang kurang baik muncul dalam lingkungan kampus. Tampaknya pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mampu mewujudkan watak dari ilmu pengetahuan yang bersifat terbuka. Pada awalnya ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari dunia pendidikan berposisi untuk melakukan perlawanan terhadap mitos-mitos, seperti perlawanan Socrates terhadap tradisi mitologi budaya Yunani kuno yang percaya akan adanya dewa-dewi dan menganggapnya sebagai segala galanya. Guru merupakan faktor yang penting dalam pendidikan, sebaik apapun sistem dan kurikulumnya yang dibuat, jika tidak didukung oleh profesionalisme guru maka bisa dipastikan hasilnya tidak maksimal. Undang-Undang tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan tidak secara cepat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ada sesuatu yang krusial atas kompleknya permasalahan dalam duniaPendidikan Di Indonesia dimana anggaran pendidikan kita masih jauh dari anggaran yang digariskan yaitu 20% dari  APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) seperti disyaratkan oleh Undang Undang Dasar kita. Sebagai gambaran saja, untuk tahun 2006 anggaran pendidikan kita baru Rp 41,3 triliun atau sekitar 9,1% dari APBN, bahkan peningkatan anggaran pendidikan yang diajukan oleh pemerintah untuk RAPBN 2007 sangat tidak signifikan sekali yakni hanya menjadi Rp. 51,3 triliun atau sekitar 10,3 % dari RAPBN. 
16. Pendidikan di Indonesia yang Membebaskan
Pikiran manusia dapat membuat kesadaran, kesadaran adalah pengetahuan yang dibentuk oleh pikiran atau akal manusia. Karena itu kita akan mengenang pikiran Rene Descartes yang mengatakan bahwa “aku berpikir, aku sadar, maka aku ada” dengan demikian, kesadaran yang ada dalam pikiran itu membuat kita memiliki pengetahuan. Kondisi Pendidikan Di Indonesia harus mulai diarahkan kepada peningkatan kesadaran peserta didik dalam memandang objek yang ada, peran pendidik yang sangat dominan dan otoriter harus dikurangi, peranan pemerintahpun dalam “mengacak-acak” kurikulum harus dikaji secara cermat, kalaupun itu harus dilakukan maka terlebih dahulu harus dilakukan penyerapan aspirasi secara demokratis. Segenap komponen bangsa harus turut melakukan pembenahan sistem pendidikan di Indonesia sehingga penciptaan kesadaran individu dalam rangka kebebasan berpikir dan bertindak dengan mengedepankan etika dan norma di masyarakat dapat diwujudkan, hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal di bangku sekolah dan juga pendidikan non formal sebagai metode pendampingan masyarakat luas dalam proses pendidikan bangsa yang harus terus dilakukan secara kontinyu, karena di masa sekarang maupun di masa mendatang, seorang intelektual tidak hanya cukup bergutat dengan ilmunya belaka namun realita sosial di masyarakat juga harus menjadi objek pemikiran dalam dirinya. Dengan ketatnya persaingan dewasa ini, arah Pendidikan di Indonesia harus mampu berperan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global dan pada waktu yang sama, pendidikan juga memiliki kewajiban untuk melestarikan national character dari bangsa Indonesia. Dari factor-faktor yang disebutkan diatas, itu hanya sebagian kecil dari hal-hal yang menyebabkan pendidikan di Indonesia smakin lama semakin terpuruk, masih banyak lagi factor-faktor yang menjadi penyebabnya.

G. Faktor-Faktor Penghambat Pembelajaran Motorik
Pendidikan jasmani (Penjas) merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani dan direncanakan secara sistematik bertujuan untuk meningkatkan individu secara organik, neuromuskular, perseptual, kognitif, sosial dan emosional. Dua diantara tujuan-tujuan Penjas menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) 2006 adalah: (1) Mengembangkan ketrampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup melalui berbagai aktivitas jasmani, (2) Mengembangkan kemampuan gerak dan ketrampilan berbagai macam permainan dan olahraga.
Salah satu penekanan pada standar isi Penjas yang terangkum dalam BSNP 2006 di Sekolah Dasar (SD) adalah menstimulasi kemampuan gerak dasar peserta didik seperti:
1)       Lokomotor (berjalan, berlari, melompat, dan lain-lain),
2)       Non-lokomotor (memutar, meliuk, membungkuk, menengadah, dan lain-lain),
3)       Manipulatif (melempar, menangkap, menggulirkan, dan lain-lain).
Salah satu masalah utama dalam Penjas di Indonesia dewasa ini ialah belum efektifnya pengajaran Penjas di sekolah-sekolah. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya terbatasnya sarana dan prasarana yang digunakan untuk mendukung proses pembelajaran Penjas dan terbatasnya kemampuan guru Penjas untuk melakukan pembelajaran Penjas. Salah satu keterbatasan guru Penjas dalam mengajar adalah dalam hal menciptakan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa. Akibatnya guru belum berhasil melaksanakan tanggung jawab untuk mendidik siswa secara sistematik melalui gerakan Penjas yang mengembangkan kemampuan ketrampilan anak secara menyeluruh baik fisik, mental maupun intelektual (Kantor Menpora, 1983).
Fenomena itulah yang saat ini terjadi di SD Negeri X Hasil survei yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa kemampuan gerak dasar di kelas II SD Negeri X masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata kelas untuk materi gerak dasar masih rendah yang hanya mencapai angka 57 (standar ketuntasan belajar minimal untuk mata pelajaran Pendidikan Jasmani di SD Negeri X adalah 65). Menurut hasil pengamatan peneliti, rendahnya kemampuan gerak dasar di kelas II SD Negeri X tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu: (1) Siswa terlihat kurang memperhatikan saat pelajaran Penjas. (2) Terbatasnya sarana dan prasarana Penjas. (3) Guru kurang kreatif menciptakan modivikasi alat-alat untuk pembelajaran Penjas. (4) Guru kesulitan dalam menemukan model pembelajaran bermain yang tepat untuk meningkatkan kemampuan gerak dasar siswa.
Menurut Agus Mahendra (2006) indikator keberhasilan Penjas ditandai oleh meningkatnya: (1) Kebugaran jasmani, (2) Kemampuan fisik dan motorik, (3) Pemahaman konsep dan prinsip gerak, (4) Kemampuan berfikir, (5) Kecakapan rasa dan sosial.
Agar pembelajaran Penjas khususnya materi gerak dasar dapat berhasil, maka harus diciptakan lingkungan yang kondusif diantaranya dengan cara memodifikasi alat dan menciptakan model-model pembelajaran. Model-model pembelajaran diciptakan dengan mempertimbangkan beberapa faktor, lima diantaranya yaitu: (1) Kegiatan pembelajaran diarahkan pada pencapaian tujuan belajar. (2) Karakteristik mata pelajaran. (3) Kemampuan guru. (4) Fasilitas/media pembelajaran masih sangat terbatas. (5) Kemampuan siswa.
Dilihat dari karakteristik anak, dunia anak adalah dunia bermain. Siswa SD yang masih tergolong anak-anak bentuk aktivitasnya cenderung berupa permainan. Seperti pada saat jam istirahat mereka sangat antusias untuk melakukan bermacam-macam bentuk permainan. Tanpa disadari mereka sering bermain dengan melakukan gerakan-gerakan dasar dalam cabang olahraga.
Agar tujuan Penjas dapat dicapai maka penyampaian materi pembelajaran Penjas pada anak SD harus disampaikan dalam situasi bermain. Penelitian tentang aplikasi model pembelajaran bermain kaitannya dengan hasil pembelajaran Penjas dan peningkatan kualitas fisik sudah banyak dilakukan. Penelitian Saharuddin Ita (2001: V) menyimpulkan bahwa kesegaran jasmani anak SD dapat ditingkatkan melalui permainan tradisional. Tetty Nur Dianasari (2005: V) membandingkan metode latihan dan metode bermain terhadap hasil pempelajaran lompat jauh gaya jongkok, ternyata dengan metode bermain hasilnya lebih baik. Menurut Bowo Santoso jenis permainan perorangan lebih baik dalam meningkatkan kesegaran jasmani siswa jika dibandingkan dengan permainan beregu (2005 :V). Permainan perorangan juga lebih baik dalam meningkatkan kemampuan motorik siswa (Anita Pramintyastuti, 2005 :V). Penelitian di atas diterapkan pada anak SD kelas 4, 5 dan 6 tetapi belum ada penelitian yang serupa yang dikenakan pada anak kelas 2.
Pada anak SD kelas 2 perlu pengembangan secara menyeluruh (Multilateral atau Versatik Development). Pengembangan menyeluruh maksudnya menekankan pada pengembangan yang menyeluruh pada anak, baik dalam aspek biomotorik, mental-emosional, maupun aspek sosialnya. Dengan demikian jika anak pada usia dini banyak dilibatkan dalam berbagai kegiatan fisik (banyak olahraga) maka ia akan dapat berkembang secara menyeluruh.
Bompa (1990: 31) mengemukakan bahwa dasar pengembangan fisik multirateral yang luas, khususnya persiapan fisik umum, merupakan salah satu persyaratan dasar yang diperlukan untuk mencapai tingkat persiapan fisik yang dispesialisasi dengan penguasaan teknik. Pada kenyataannya kemampuan gerak dasar anak SD masih belum optimal ditunjukkan oleh Yunita (2005 :V) bahwa kemampuan gerak dasar siswa SD masih rendah salah satunya disebabkan kurangnya sarana dan prasarana.

H. Kelembagaan,Program,Pengelolaan Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peseta didik agar dapat berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang.
Pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasar kepada pencapaian tujuan pembangunan Indonesia. Sistem pendidikan nasional merupakan satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang saling berkaitan untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Sistem pendidikan nasional diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta di bawah tanggung jawab menteri pendidikan dan kebudayaan dan menteri lainnya. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional dilaksanakan melalui bentuk-bentuk kelembagaan beserta program-programnya.
1.Kelembagaan Pendidikan
Berdasarkan UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kelembagaan pendidikan dapat dilihat dari segi jalur pendidikan dan program serta pengelolaan pendidikan.
a. Jalur Pendidikan
1. Jalur Pendidikan Sekolah
Merupakan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan bersinambungan. Sifatnya formal, diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan pemerintah, dan mempunyai keseragaman pola yang bersifat nasional.
2. Jalur Pendidikan Luar Sekolah
Merupakan pendidikan yang bersifat kemasyarakatan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak berjenjang dan tidak bersinambungan. Yang bersifat tidak formal dalam arti tidak ada keseragaman pola yang bersifat nasional.
b. jenjang pendidikan
Merupakan suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran ( UU RI No. 2 Tahun 1989 Bab 1 Pasal 1 Ayat 5 ).
1. Jenjang Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar diselenggarakan untuk memberikan bekal dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat berupa pengembangan sikap,pengetahuan,dan keterampilan dasar dan juga berfungsi mempersiapkan peserta yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.UU RI No 2 Tahun 1989 pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa “warga negara yang berumur 6 tahun berhak mengikuti pendidikan dasar”. Ayat 2 “warga negara yang berumur 7 tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar/yang setara sampai tamat.
2.Jenjang Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah yang lamanya 3 tahun sesudah pendidikan dasar diselenggarakan di SLTA yang berfungsi sebagai lanjutan dan perluasan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum,kedinasan,dan keagamaan.
3.jenjang pendidikan tinggi
Merupakan lanjutan dari pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik/professional yang dapat menerapkan, mengembangkan, menciptakan ilmu pengetahuan,teknologi dan kesenian. Pendidikan ini juga berfungsi sebagai jembatan antara pengembangan bangsa dan kebudayaan nasional.
Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademik,politeknik,sekolah tinggi,institut dan universitas.
·         Akademi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan teknologi dan kesenian tertentu.
·         Politeknik merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
·         Sekolah tinggi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik atau professional dalam suatu disiplin ilmu pada bidang tertentu.
·         Institut merupakan perguruan tinggi yang terdiri sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik/profesioanl dalam sekelompok disiplin ilmu yang sejenis.
·         Universitas merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik/profesianal dalam sekolompok disiplin ilmu tertentu.
2.Program dan Pengolahan Pendidikan
a. Jenis Program Pendidikan
1.Pendidikan Umum
Merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan keterampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingkat akhir masa pendidikan. Yang termasuk pendidikan umum adalah SD,SMP,SMA dan Universitas.
2.Pendidikan Kejuruan
Merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang pekerjaan tertentu. Lembaga pendidikannya seperti STM, SMTK, SMIP, SMEA.
3.Pendidikan Luar Biasa
Merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik/mental.yang termasuk pendidikan luar biasa adalah SDLB, SGPLB.
4.    Pendidikan Kedinasan
Merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai atau calon pegawai suatu departemen pemerintah atau lembaga pemerintah non-departemen.
5.    Pendidikan Keagamaan
Merupakan pendidikan khusus yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat melaksanakan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama.
b. Kurikulum Program Pendidikan
Konsep sistem pendidikan nasional direalisir melalui kurikulum. Kurikulum memberi bekal pengetahuan, sikap, dan keterampilan kepada peserta didik. Curir dalam bahasa yunani kuno berarti ”pelari” dan curee artinya ”tempat berpacu”. Kurikulum kemudian diartikan ”jarak yang harus ditempuh”.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa. Adapun faktor penghambat  dalam proses pembelajaran menurut  Zuhairini antara lain  kesulitan dalam menghadapi perbedaan karakteristik  peserta didik, perbedaan individu yang meliputi intelegensi, watak dan latar belakang, kesulitan menentukan materi yang cocok dengan  kejiwaan dan jenjang pendidikan peserta didik, kesulitan dalam menyesuaikan  materi  pelajaran dengan berbagai metode supaya peserta didik tidak segera bosan, kesulitan dalam memperoleh sumber dan alat pembelajaran,  kesulitan dalam mengadakan evaluasi dan pengaturan waktu. Dengan demikian hambatan dalam pembelajaran sebagian besar disebabkan dari faktor pendidik yang dituntut  untuk tidak hanya mampu merencanakan PBM,  mempersiapkan bahan pengajaran, merencanakan media dan sumber  pembelajaran, serta waktu dan teknik penilaian terhadap prestasi siswa, namun juga harus mampu melaksanakan semua itu sesuai dengan program yang telah dibuat.

DAFTAR PUSTAKA

Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan Agama  (Jakarta: Ramadhani, 1993), 100.
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran,52.
Zuhairini, dkk.. Metodologi Pendidikan Agama,100.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.



0 comments: