Popular Posts
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama adalah suatu sistem nilai yang diakui dan diyakini kebenarannya dan merupakan jalan men...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persaingan global merupakan momok yang mengerikan bagi para pengusaha industri ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Entomologi adalah salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari serangga. Istilah ini bera...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tumbuhan tidak selamanya bisa hidup tanpa gangguan. Kadang tumbuhan mengalami gangguan oleh b...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Judul : Kiamat Kecil Di Sempadan Pulau C. Pengarang ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Rempah-rempah telah luas dikenal sebagai pemberi cita rasa atau bumbu dan disamping itu rempa...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu alamiah atau sering disebut ilmu pengetahuan alam (natural science), merupakan pengetahu...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain d...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Al-Qur ’ an sebagai kitab suci rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam yang didalamn...
-
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manggis merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari hutan tropis yang teduh di kawa...
Kode
Blogger news
Blogroll
About
Blog Archive
-
▼
2014
(36)
-
▼
August
(36)
-
▼
Aug 26
(31)
- MAKALAH IPA DAN TEKNOLOGI
- INTRAKSI SOSIAL
- INTRAKSI SPESIAL
- MAKALAH IMAN KEPADA RASUL
- MAKALAH ILMU TAJWID
- MAKALAH ILMU FILSAFAT
- MAKALAH IBADAH MADHA DAN GHOHIRU MADHA
- HUKUM KONTRAK
- MAKALAH HIDROGEN DAN MINYAK BUMI
- MAKALAH HAMA DAN PENYAKIT
- MAKALAH HAK ASASI MANUSIA (HAM)
- MAKALAH HAKIKAT MANUSIA
- MAKALAH GIZI DAN KESEHATAN
- MAKALAH FILSAFAT
- MAKALAH FASILITAS
- FAKTUR TEMPORAL
- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDIDIKAN
- MAKALAH ENTOMOLOGI LABA-LABA
- MAKALAH DOSA BESAR DAN SYIRIK
- MAKALAH DEMAM BERDARAH
- MAKALAH DAMPAK EKONOMI
- CERPEN
- BUNGA LAWANG
- MAKALAH BUMI DAN ISINYA
- MAKALAH BUMI DAN ALAM SEMESTA
- Makalah Buah Manggis
- Basket
- Bahasa dan Masyarakat
- Bahasa dan Kebudayaan
- Aspek Pemasaran
- AGAMA (MANUSIA)
-
▼
Aug 26
(31)
-
▼
August
(36)
Categories
- makalah (36)
Jadikan Hari Mu lebih Berwarna Dengan Memabaca
Powered by Blogger.
Tuesday 26 August 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara
lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia
(Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian
pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa
indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di
dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998),
dan ke-109 1999).
B. Rumusan Masalah
Faktor-faktor penghambat pendidikan
umum di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan
standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di
Indonesia pada umumnya. Adapun faktor-faktor penghambat yang khusus dalam dunia
pendidikan di indonesia yaitu:
1.
Rendahnya sarana fisik
2.
Rendahnya kualitas guru
3.
Rendahnya prestasi siswa
4.
Rendahnya kesempatan pemerataan
pendidikan
5.
Mahalnya biaya pendidikan.
Permasalahan-permasalahan mengenai faktor-faktor penghambat
pendidikan yang tersebut di atas akan dibahas secara lebih rinci dalam makalah
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui,
kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari
kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya
harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang,
guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak
diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang
sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar
murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka
ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut,
tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru
berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi
faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah
terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang
terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja.
Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti
kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
B.
Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan
di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya
kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu
pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah,
menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan
demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan
keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia
sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke
lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang
jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta
didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak
mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan
masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana
mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan
bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk
sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran
formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di
jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti
itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah.
Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat
mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap
hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah
misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa
mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih
rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai
dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di
Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam
menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan
efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses
pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh
hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang
kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan
prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran
di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam
proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang
efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam
peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di
Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di
Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang
tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita
menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di
sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya
pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya
pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus
atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga
berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya
transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita
pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan
biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya
adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang
ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang
mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya,
yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya
pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey
lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative
lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah
menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari
pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien,
karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan
formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang
mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan
sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut
tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal
untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi
pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar
jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan
dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu
pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya.
Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di
mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut
benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang
sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan
pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta
didik.
Sistem pendidikan yang baik juga
berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat
disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan
pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini,
kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum
berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan
aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga
mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih
dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat
disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran
efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika
keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan
yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan
keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi
teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam
pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang
sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai
kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan
dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena
tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap
harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program
pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan
pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program
pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan
antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya
pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran
yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang
akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah.
Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di
dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi.
Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga
pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini,
standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya
keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh
standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk
badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut
seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan
kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam
pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan
yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan
pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya
memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar
pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana
cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang
terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan
karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun
standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan
di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita
mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau
belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami
menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami
sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya
peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa
melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan
selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu
hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain
yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya
dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga
permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan
penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal
yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat
kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga
jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu
pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya
kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus
beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak
sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,
tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003)
menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898
siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut
sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami
kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat.
Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi
MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs,
SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut
kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb:
untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk
SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas
berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang
Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang
berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000
guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di
tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru
18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian
prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi
fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.
Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa
Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi
matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam
hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai
negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004
lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan
hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui
laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan
tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila
dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di
bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut
Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the
Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa
keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah.
Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura),
65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya
mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin
karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third
International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999)
memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2
Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam
dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang
disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya
mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih
terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka
Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta
siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat
ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan
masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari
Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin
tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh
sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini
dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di
atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan
sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan
Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses
atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala
pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada
tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi
pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala
Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala
Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab
negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan
adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status
pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara
mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada
pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah
menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa
contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada
melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya
peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan
kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia
sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti
pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen
(Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang
dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang
yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP
tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah
dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki
otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah
tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati
pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak
berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi
Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda
Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor
lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU
BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan
kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber
dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga
perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN
yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu
menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka
argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di
beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun
biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya
pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak
mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi
persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang
berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci
tangan’.
C. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di
atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan.
Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang
diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam
konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip
antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik,
termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang
ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana
fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga
perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan
sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam.
Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem
ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung
segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang
menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini
misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah
teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas
sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi
peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi
solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran,
meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
D. Komponen-komponen Pendukung dan
Penghambatan dalam Proses Pendidikan
1. Komponen pendukung
Komponen adalah bagian
dari suatu system yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu
proses untuk mencapai tujuan system. Komponen pendidikan berarti bagian-bagian
dari system proses pendidikan yang menentukan berhasil dan tidak. Pertama,
komponen perangkat keras (hardware), yang meliputi
ruangan belajar, peralatan praktik, laboratorium, perpustakaan;
kedua, komponen perangkat lunak (software) yaitu meliputi kurikulum, program pengajaran, manajemen
sekolah, system pembelajaran; ketiga, apa yang disebut dengan
perangkat pikir (brainware) yaitu menyangkut keberadaan guru, kepala sekolah, anak didik dan
orang-orang yang terkait
dalam proses pendidikan itu sendiri.
Dari tiga
kelompok komponen di atas, maka yang menjadi penentuaknya proses pendidikan.
Bahwa dapat diartikan untuk berlangsungnya proses pendidikan yang sukses dan
berhasil diperlukan beberapa komponen-komponen pendukung.
Ada beberapa
komponen yang menentukan kesuksesan dan
keberhasilan dalam pendidikan. Komponen-komponen itu dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok.
Suksesnya belajar dan
berhasilnya suatu pendidikan sangat (dominan) ditentukan oleh komponen tenaga pendidik, dalam hal ini guru di
sekolah. Meskipun di suatu sekolah fasilitasnya memadai,
bangunannya bertingkat; meskipun kurikulumnya lengkap, program pengajarannya
hebat, manajemennya ketat, sistem pembelajarannya oke,
tapi para tenaga pengajarnya (guru) sebagai aplikator di
lapangan tidak memiliki kemampuan(kualitas)
dalam penyampaian materi, cakap menggunakan alat-alat tekhnologi yang
mendukung pembelajaran, maka tujuan pendidikan
akan sulit dicapaisebagaimana mestinya. Disini
hendaknya setiap guru harus memahami fungsinya karena sangat besar pengaruhnya
terhadap cara bertindak dan berbuat dalam menunaikan pekerjaan sehari-hari
dikelas dan di masyarakat. Guru yang memahami kedudukan dan fungsinya sebagai
pendidik professional, selalu terdorong untuk tumbuh dan berkembang sebagai
perwujudan perasaan dan sikap tidak puas terhadap pendidikan. Persiapan yang
harus diikuti, hendaknya sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (Nawawi,
1989:121). Mantan Mendikbud, Fuad Hassan juga pernah mengingatkan, bahwa tanpa guru yang menguasai materinya mustahil suatu sistem pendidikan
berikut kurikulum serta muatan kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana
yang diidealkan.
2. Komponen Penghambat
Selain komponen
pendukung, tentu juga ada komponen penghambatnya. Hambatan itu bisa datang dari
guru sendiri, dari peserta didik, lingkungan keluarga ataupun karena factor
fasilitas (Nawawi, 1989:130).
a. Guru
Guru sebagai seorang
pendidik, tentunya ia juga mempunyai banyak kekurangan. Kekurangan-kekurangan
itu bisa menjadi penyebab terhambatnya kreatifitas pada diri guru tersebut.
Diantaranya ialah:
1.
Tipe kepemimpinan guru
Tipe kepemimpinan guru
dalam proses belajar mengajar yang otoriter dan kurang demokratis akan menimbulkan
sikap pasif peserta didik. Sikap peserta didik ini merupakan sumber masalah
pengelolaan kelas. (Rohani dan Ahmadi, 1991:151).
Siswa hanya duduk rapi
mendengarkan dan berusaha memahami kaidah-kaidah pelajaran yang diberikan guru
tanpa diberikan kesempatan untuk berinisiatif dan mengembangkan kreativitas dan
daya nalarnya (Masnur dkk, 1987:109).
2.
Gaya guru yang monoton
Gaya guru yang monoton
akan menimbulkan kebosanan bagi peserta didik, baik berupa ucapak ketika
menerangkan pelajaran ataupun tindakan. Ucapan guru dapat mempengaruhi motivasi
siswa.
3.
Kepribadian guru
Seorang guru yang
berhasil, dituntut untuk bersifat hangat, adil, obyektif dan bersifat fleksibel
sehingga terbina suasana emosional yang menyenangkan dalam proses belajar
mengajar. Artinya guru menciptakan suasana akrab dengan anak didik dengan
selalu menunjukan antusias pada tugas serta pada kreativitas semua anak didik
tanpa pandang bulu.
4.
Pengetahuan guru
Terbatasnya pengetahuan
guru terutama masalah pengelolaan dan pendekatan pengelolaan, baik yang
sifatnya teoritis maupun pengalaman praktis, sudah barang tentu akan menghambat
perwujudan pengelolaan kelas dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu,
pengetahuan guru tentang pengelolaan kelas sangat diperlukan (Wijaya dan
Rusyan, 1994:136).
5.
Terbatasnya kesempatan guru untuk memahami
tingkah laku peserta didik dan latar belakangnya
Terbatasnya kesempatan
guru untuk memahami tingkah laku peserta didik dan latar belakangnya dapat
disebabkan karena kurangnya usaha guru untuk dengan sengaja memahami peserta
didik dan latar belakangnya. Karena pengelolaan pusat belajar harus disesuaikan
dengan minat, perhatian dan bakat para siswa, maka siswa yang memahami
pelajaran secara cepat, rata-rata dan lamban memerlukan pengelolaan secara
khusus menurut kemampuannya. Semua hal diatas member petunjuk kepada guru bahwa
dalam proses belajar mengajar diperlukan pemahaman awal tentang perbedaan siswa
satu sama lain (Wijaya dan Rusyan, 1994:136).
b.
Peserta didik
Peserta didik dalam kelas
dapat dianggap sebagai seorang individu dalam suatu masyarakat kecil yaitu
kelas dan sekolah. Mereka harus tahu hak-haknya sebagai bagian dari suatu
kesatuan masyarakat disamping mereka juga harus tahu akan kewajibannya dan
keharusan menghormati hak-hak orang lain dan teman-teman sekelasnya.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran yang
tinggi dari peserta didik akan hak serta kewajibannya dalam mengikuti kegiatan
belajar mengajar.
c.
Keluarga
Tingkah laku peserta
didik didalam kelas merupakan pencerminan keadaan keluarganya. Sikap otoriter dari
orang tua akan tercermin dari tingkah laku peserta didik yang agresif dan
apatis. Problem klasik yang dihadapi guru memang banyak yang berasal dari
lingkungan keluarga. Kebiasaan yang kurang baik dari lingkungan keluarga
seperti tidak tertib, tidak patuh pada disiplin, kebebasan yang berlebihan atau
terlampau terkekang merupakan latar belakang yang menyebabkan peserta didik
melanggar di kelas.
d.
Fasilitas
Fasilitas yang ada
merupakan factor penting upaya guru memaksimalkan programnya, fasilitas yang
kurang lengkap akan menjadi kendala yang berarti bagi seorang guru dalam
beraktifitas. Kendala tersebut ialah:
1.
Jumlah peserta didik didalam kelas yang
sangat banyak
2.
Besar atau kecilnya suatu ruangan kelas yang
tidak sebanding dengan jumlah siwa
3.
Keterbatasan alat penunjang mata pelajaran
(Rohani dan Ahmadi, 1992: 152-154).
E. Status Pendidikan Di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten
terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai
saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit”ini disebabkan
karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam
kenyataannya seringkali tidak begitu.Seringkali pendidikan tidak memanusiakan
manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh system pendidikan yang
ada. Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di
Indonesia,menghasilkan ”manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan
yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang.
Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar
berfikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (efektif). Jadi unsur
integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal
belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang
yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti
mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal
yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai
sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang
sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang diciptakan manusia
siap pakai. Dan ”siap pakai” disini berarti menghasilkan tenaga-tenaga
yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industry dan
teknologi.
Ada dua factor yang mempengaruhi
kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu:
1)
Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu
Depatemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang
berada di garis depan. Dalam hal ini, interfensi dari pihak-pihak yang terkait
sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
2)
Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya. Dimana,
masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya
pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
F. Faktor Penghambat Pendidikan di
Indonesia
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan
kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Fakto-faktor tersebut yaitu:
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak
sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboraturium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,
tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboraturium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas
Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai
peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan
yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel, dan sebagainya.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian
prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Anak-anak Indonesia ternyata hanya
mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab
soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena
mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third
International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA,1999)
memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2
Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk matematika. Dalam
dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang di
survey di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu
menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73, dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan
Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih
terbatas pada tingkat sekolah dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jendral Binbaga Departemen Agama tahun 2000
menunjukkan angka partisipasi murni (AMP) untuk anak usia SD pada tahun 1999
mencapai 94,4% (28,3 juta siswa) pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi.
Angka partisipasi murni pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54,8% (9,4 juta
siswa).
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan
dengan kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusa SMU
sebesar 25,47 %, Diploma / SO sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%. Adanya
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini
disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan
yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia
kerja.
7. Mahalnya biaya pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal, kalimat
ini yang sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari tamn kanak – kanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak boleh sekolah.
8. Pembelajaran hanya pada buku paket
Di indonesia telah berganti beberapa
kurikulum dari KBK menjadi KTSP. Hampir setiap menteri mengganti kurikulum lama
dengan kurikulum yang baru. Namun adakah yang berbeda dari kondisi pembelajaran
di sekolah-sekolah? Tidak, karena pembelajaran di sekolah sejak zaman dulu
masih memakai kurikulum buku paket. Sejak era 60-70an, pembelajaran di kelas
tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apapun kurikulumnya, guru hanya mengenal
buku paket. Materi dalam buku paketlah yang menjadi acuan dan guru tidak mencari
sumber referensi lain.
9. Mengajar Satu Arah
Metode pembelajaran yang menjadi
favorit guru mungkin hanya satu, yaitu metode berceramah satu arah. Karena
berceramah itu mudah dan ringan, tanpa modal, tanpa tenaga, tanpa persiapan
yang rumit. Metode ceramah menjadi metode terbanyak yang dipakai guru
karena memang hanya itulah metode yang benar-benar dikuasai sebagain besar
guru. Pernahkah guru mengajak anak berkeliling sekolahnya untuk belajar ?
Pernahkah guru membawa siswanya melakukan percobaan di alam lingkungan sekitar
? Atau pernahkah guru membawa seorang ilmuwan langsung datang di kelas untuk
menjelaskan profesinya?
10. Aturan yang Mengikat
Ini tentang Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Sekolah seharusnya memiliki kurikulum sendiri sesuai dengan
karakteristiknya.
11. Guru tak Menanamkan Diskusi Dua Arah
Lihatlah pembelajaran di ruang kelas.
Sepertinya sudah diseragamkan. Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja,
mendengarkan guru menjelaskan. seolah-olah Anak “Dipaksa” mendengar dan mendapatkan
informasi sejak pagi sampai siang, belum lagi ada sekolah yang menerapkan Full
Days. Anak diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara
kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam saat
guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih untuk
bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak berani
bertanya. Selesai mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana
kelas. Yang bertanya biasanya anak-anak itu saja.
12. Metode Pertanyaan Terbuka tak Dipakai
Contoh negara yang menggunakan
pertanyaan terbuka adalah Finlandia. Dalam setiap ujian, siwa boleh menjawab
soal dengan membaca buku. Guru Indonesia belum siap menerapkan ini karena masih
kesulitan membuat soal terbuka.
13. Budaya Mencontek
Siswa menyontek itu biasa terjadi. Tapi
apakah kita tahu kalau "guru juga menyontek" ? Ini lebih parah.
Lihatlah tes-tes yang diikuti guru, tes pegawai negeri yang diikuti guru,
menyontek telah menjadi budaya sendiri.
14. Pendidikan di Indonesia Mahal
Pepatah barat kaum kapitalis menyebutkan
“tidak ada sarapan pagi yang gratis”. Impian untuk dapat mengenyam pendidikan
di PTN favorit seakan dihadang ranjau yang membahayakan masa depannya.
Pihak PTN berpikir bahwa kampus
yang mereka kelola sangat marketable sehingga merekapun mengikuti hukum
ekonomi, “biaya tinggi mengikuti permintaan yang naik”. Memang cukup dilematis,
disatu sisi masyarakat dan negara selalu ingin meningkatkan kemampuan atau
kecerdasan penerus bangsanya tetapi secara paradoks, masyarakat telah
dibelenggu oleh biaya pendidikan yang mahal dan membuat seolah olah hanya kaum yang berduitlah yang
mampu menyekolahkan anaknya Meski secara resmi pembukaan pasar bebas bidang
pendidikan di Indonesia berlaku mulai tahun 2006 namun invasi pendidikan asing
yang berimplikasi pada meningkatnya biaya pendidikan sudah lama terasa. Memang
sebuah angka partisipasi pendidikan yang masih dibawah standar. Dan dengan
berbekal ini, pendidikan tinggi di Indonesia semakin mahal yang semakin
menjauhkan masyarakat menengah ke bawah dengan keinginan untuk menyekolahkan
anaknya di perguruan tinggi negeri favorit yang murah.
15. Pendidikan di Indonesia
Tidak Terfokus
Pendidikan di Indonesia selama ini terkesan tidak terfokus, ganti
menteri pendidikan maka ganti juga kurikulum dan sistem pendidikannya.
Pendidikan di Indonesia kurang membentuk kepribadian akademis (academic
personality) yang utuh. Kepribadian akademis sangat penting dimiliki oleh
pelaku pendidikan (anak didik dan pendidik) yang akan maupun yang sudah
menguasai ilmu pengetahuan. Kepribadian akademislah yang dapat membedakan
pelaku pendidikan dengan masyarakat umum lainnya. Diskusi yang bersifat dialog
jarang terjadi dalam proses pendidikan kita, bersuara kadangkala diartikan keributan yang dikaitkan
dengan tanda bahwa anak yang bersangkutan tidak disiplin atau bahkan dianggap
bodoh.
Kondisi pendidikan utamanya di
perguruan tinggi dewasa ini terlihat kurang kondusif dan kurang konstruktif
karena terjadi gejala sosial yang kurang baik muncul dalam lingkungan kampus.
Tampaknya pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mampu mewujudkan watak dari
ilmu pengetahuan yang bersifat terbuka. Pada awalnya ilmu pengetahuan yang
dihasilkan dari dunia pendidikan berposisi untuk melakukan perlawanan terhadap
mitos-mitos, seperti perlawanan Socrates terhadap tradisi mitologi budaya
Yunani kuno yang percaya akan adanya dewa-dewi dan menganggapnya sebagai segala
galanya. Guru merupakan faktor yang penting dalam pendidikan, sebaik apapun
sistem dan kurikulumnya yang dibuat, jika tidak didukung oleh profesionalisme
guru maka bisa dipastikan hasilnya tidak maksimal. Undang-Undang tentang Guru
dan Dosen yang telah disahkan tidak secara cepat ditindaklanjuti oleh
pemerintah. Ada sesuatu yang krusial atas kompleknya permasalahan dalam duniaPendidikan Di Indonesia dimana anggaran pendidikan kita masih jauh dari anggaran yang
digariskan yaitu 20% dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)
seperti disyaratkan oleh Undang Undang Dasar kita. Sebagai gambaran saja, untuk
tahun 2006 anggaran pendidikan kita baru Rp 41,3 triliun atau sekitar 9,1% dari
APBN, bahkan peningkatan anggaran pendidikan yang diajukan oleh pemerintah
untuk RAPBN 2007 sangat tidak signifikan sekali yakni hanya menjadi Rp. 51,3
triliun atau sekitar 10,3 % dari RAPBN.
16. Pendidikan di Indonesia yang
Membebaskan
Pikiran manusia dapat membuat
kesadaran, kesadaran adalah pengetahuan yang dibentuk oleh pikiran atau akal
manusia. Karena itu kita akan mengenang pikiran Rene Descartes yang mengatakan
bahwa “aku berpikir, aku sadar, maka aku ada” dengan demikian, kesadaran yang
ada dalam pikiran itu membuat kita memiliki pengetahuan. Kondisi Pendidikan Di Indonesia harus mulai diarahkan kepada peningkatan kesadaran peserta didik
dalam memandang objek yang ada, peran pendidik yang sangat dominan dan otoriter
harus dikurangi, peranan pemerintahpun dalam “mengacak-acak” kurikulum harus
dikaji secara cermat, kalaupun itu harus dilakukan maka terlebih dahulu harus
dilakukan penyerapan aspirasi secara demokratis. Segenap komponen bangsa
harus turut melakukan pembenahan sistem pendidikan di Indonesia sehingga
penciptaan kesadaran individu dalam rangka kebebasan berpikir dan bertindak
dengan mengedepankan etika dan norma di masyarakat dapat diwujudkan, hal ini
dapat dilakukan melalui pendidikan formal di bangku sekolah dan juga pendidikan non formal sebagai metode pendampingan
masyarakat luas dalam proses pendidikan bangsa yang harus terus dilakukan
secara kontinyu, karena di masa sekarang maupun di masa mendatang, seorang
intelektual tidak hanya cukup bergutat dengan ilmunya belaka namun realita sosial
di masyarakat juga harus menjadi objek pemikiran dalam dirinya. Dengan ketatnya
persaingan dewasa ini, arah Pendidikan di Indonesia harus mampu berperan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi
masyarakat global dan pada waktu yang sama, pendidikan juga memiliki kewajiban
untuk melestarikan national character dari bangsa Indonesia. Dari factor-faktor yang disebutkan diatas, itu
hanya sebagian kecil dari hal-hal yang menyebabkan pendidikan di Indonesia
smakin lama semakin terpuruk, masih banyak lagi factor-faktor yang menjadi
penyebabnya.
G. Faktor-Faktor Penghambat Pembelajaran Motorik
Pendidikan
jasmani (Penjas) merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas
jasmani dan direncanakan secara sistematik bertujuan untuk meningkatkan
individu secara organik, neuromuskular, perseptual, kognitif, sosial dan
emosional. Dua diantara tujuan-tujuan Penjas menurut Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) 2006 adalah: (1) Mengembangkan ketrampilan pengelolaan diri
dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup
melalui berbagai aktivitas jasmani, (2) Mengembangkan kemampuan gerak dan
ketrampilan berbagai macam permainan dan olahraga.
Salah
satu penekanan pada standar isi Penjas yang terangkum dalam BSNP 2006 di
Sekolah Dasar (SD) adalah menstimulasi kemampuan gerak dasar peserta didik
seperti:
1) Lokomotor (berjalan, berlari, melompat, dan lain-lain),
2) Non-lokomotor (memutar, meliuk, membungkuk, menengadah,
dan lain-lain),
3) Manipulatif (melempar, menangkap, menggulirkan, dan lain-lain).
Salah
satu masalah utama dalam Penjas di Indonesia dewasa ini ialah belum efektifnya
pengajaran Penjas di sekolah-sekolah. Hal ini disebabkan beberapa faktor
diantaranya terbatasnya sarana dan prasarana yang digunakan untuk mendukung
proses pembelajaran Penjas dan terbatasnya kemampuan guru Penjas untuk
melakukan pembelajaran Penjas. Salah satu keterbatasan guru Penjas dalam
mengajar adalah dalam hal menciptakan situasi lingkungan yang memungkinkan
siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri
siswa. Akibatnya guru belum berhasil melaksanakan tanggung jawab untuk mendidik
siswa secara sistematik melalui gerakan Penjas yang mengembangkan kemampuan
ketrampilan anak secara menyeluruh baik fisik, mental maupun intelektual (Kantor
Menpora, 1983).
Fenomena
itulah yang saat ini terjadi di SD Negeri X Hasil survei yang telah dilakukan
oleh peneliti menunjukkan bahwa kemampuan gerak dasar di kelas II SD Negeri X
masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata kelas untuk
materi gerak dasar masih rendah yang hanya mencapai angka 57 (standar
ketuntasan belajar minimal untuk mata pelajaran Pendidikan Jasmani di SD Negeri
X adalah 65). Menurut hasil pengamatan peneliti, rendahnya kemampuan gerak
dasar di kelas II SD Negeri X tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya yaitu: (1) Siswa terlihat kurang memperhatikan saat pelajaran
Penjas. (2) Terbatasnya sarana dan prasarana Penjas. (3) Guru kurang kreatif
menciptakan modivikasi alat-alat untuk pembelajaran Penjas. (4) Guru kesulitan
dalam menemukan model pembelajaran bermain yang tepat untuk meningkatkan
kemampuan gerak dasar siswa.
Menurut
Agus Mahendra (2006) indikator keberhasilan Penjas ditandai oleh meningkatnya:
(1) Kebugaran jasmani, (2) Kemampuan fisik dan motorik, (3) Pemahaman konsep
dan prinsip gerak, (4) Kemampuan berfikir, (5) Kecakapan rasa dan sosial.
Agar
pembelajaran Penjas khususnya materi gerak dasar dapat berhasil, maka harus
diciptakan lingkungan yang kondusif diantaranya dengan cara memodifikasi alat
dan menciptakan model-model pembelajaran. Model-model pembelajaran diciptakan
dengan mempertimbangkan beberapa faktor, lima diantaranya yaitu: (1) Kegiatan
pembelajaran diarahkan pada pencapaian tujuan belajar. (2) Karakteristik mata
pelajaran. (3) Kemampuan guru. (4) Fasilitas/media pembelajaran masih sangat
terbatas. (5) Kemampuan siswa.
Dilihat
dari karakteristik anak, dunia anak adalah dunia bermain. Siswa SD yang masih
tergolong anak-anak bentuk aktivitasnya cenderung berupa permainan. Seperti
pada saat jam istirahat mereka sangat antusias untuk melakukan bermacam-macam
bentuk permainan. Tanpa disadari mereka sering bermain dengan melakukan
gerakan-gerakan dasar dalam cabang olahraga.
Agar
tujuan Penjas dapat dicapai maka penyampaian materi pembelajaran Penjas pada
anak SD harus disampaikan dalam situasi bermain. Penelitian tentang aplikasi
model pembelajaran bermain kaitannya dengan hasil pembelajaran Penjas dan
peningkatan kualitas fisik sudah banyak dilakukan. Penelitian Saharuddin Ita
(2001: V) menyimpulkan bahwa kesegaran jasmani anak SD dapat ditingkatkan
melalui permainan tradisional. Tetty Nur Dianasari (2005: V) membandingkan
metode latihan dan metode bermain terhadap hasil pempelajaran lompat jauh gaya
jongkok, ternyata dengan metode bermain hasilnya lebih baik. Menurut Bowo
Santoso jenis permainan perorangan lebih baik dalam meningkatkan kesegaran
jasmani siswa jika dibandingkan dengan permainan beregu (2005 :V). Permainan
perorangan juga lebih baik dalam meningkatkan kemampuan motorik siswa (Anita
Pramintyastuti, 2005 :V). Penelitian di atas diterapkan pada anak SD kelas 4, 5
dan 6 tetapi belum ada penelitian yang serupa yang dikenakan pada anak kelas 2.
Pada
anak SD kelas 2 perlu pengembangan secara menyeluruh (Multilateral atau
Versatik Development). Pengembangan menyeluruh maksudnya menekankan pada
pengembangan yang menyeluruh pada anak, baik dalam aspek biomotorik,
mental-emosional, maupun aspek sosialnya. Dengan demikian jika anak pada usia
dini banyak dilibatkan dalam berbagai kegiatan fisik (banyak olahraga) maka ia
akan dapat berkembang secara menyeluruh.
Bompa
(1990: 31) mengemukakan bahwa dasar pengembangan fisik multirateral yang luas,
khususnya persiapan fisik umum, merupakan salah satu persyaratan dasar yang
diperlukan untuk mencapai tingkat persiapan fisik yang dispesialisasi dengan
penguasaan teknik. Pada kenyataannya kemampuan gerak dasar anak SD masih belum
optimal ditunjukkan oleh Yunita (2005 :V) bahwa kemampuan gerak dasar siswa SD
masih rendah salah satunya disebabkan kurangnya sarana dan prasarana.
H. Kelembagaan,Program,Pengelolaan
Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peseta
didik agar dapat berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang
akan datang.
Pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang
berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasar kepada pencapaian tujuan
pembangunan Indonesia. Sistem pendidikan nasional merupakan satu keseluruhan
yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang saling berkaitan
untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Sistem pendidikan nasional diselenggarakan oleh
pemerintah dan swasta di bawah tanggung jawab menteri pendidikan dan kebudayaan
dan menteri lainnya. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional dilaksanakan
melalui bentuk-bentuk kelembagaan beserta program-programnya.
1.Kelembagaan Pendidikan
Berdasarkan UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, kelembagaan pendidikan dapat dilihat dari segi jalur
pendidikan dan program serta pengelolaan pendidikan.
a. Jalur Pendidikan
1. Jalur Pendidikan Sekolah
Merupakan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah melalui
kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan bersinambungan. Sifatnya
formal, diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan pemerintah, dan mempunyai
keseragaman pola yang bersifat nasional.
2. Jalur Pendidikan Luar Sekolah
Merupakan pendidikan yang bersifat kemasyarakatan yang
diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak
berjenjang dan tidak bersinambungan. Yang bersifat tidak formal dalam arti
tidak ada keseragaman pola yang bersifat nasional.
b. jenjang pendidikan
Merupakan suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang
ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik serta keluasan dan
kedalaman bahan pengajaran ( UU RI No. 2 Tahun 1989 Bab 1 Pasal 1 Ayat 5 ).
1. Jenjang Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar diselenggarakan untuk memberikan bekal
dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat berupa pengembangan sikap,pengetahuan,dan
keterampilan dasar dan juga berfungsi mempersiapkan peserta yang memenuhi
persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.UU RI No 2 Tahun 1989 pasal 14
ayat 1 menyatakan bahwa “warga negara yang berumur 6 tahun berhak mengikuti
pendidikan dasar”. Ayat 2 “warga negara yang berumur 7 tahun berkewajiban
mengikuti pendidikan dasar/yang setara sampai tamat.
2.Jenjang Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah yang lamanya 3 tahun sesudah
pendidikan dasar diselenggarakan di SLTA yang berfungsi sebagai lanjutan dan
perluasan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan
menengah umum,kedinasan,dan keagamaan.
3.jenjang pendidikan tinggi
Merupakan lanjutan dari pendidikan menengah yang
diselenggarakan untuk menyiapkan peserta menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan akademik/professional yang dapat menerapkan, mengembangkan,
menciptakan ilmu pengetahuan,teknologi dan kesenian. Pendidikan ini juga
berfungsi sebagai jembatan antara pengembangan bangsa dan kebudayaan nasional.
Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi
disebut perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademik,politeknik,sekolah
tinggi,institut dan universitas.
·
Akademi merupakan perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan terapan dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu
pengetahuan teknologi dan kesenian tertentu.
·
Politeknik merupakan perguruan tinggi
yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan
khusus.
·
Sekolah tinggi merupakan perguruan
tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik atau professional dalam suatu
disiplin ilmu pada bidang tertentu.
·
Institut merupakan perguruan tinggi
yang terdiri sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan
akademik/profesioanl dalam sekelompok disiplin ilmu yang sejenis.
·
Universitas merupakan perguruan tinggi
yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan
akademik/profesianal dalam sekolompok disiplin ilmu tertentu.
2.Program dan Pengolahan Pendidikan
a. Jenis Program Pendidikan
1.Pendidikan Umum
Merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan
pengetahuan dan keterampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan
pada tingkat-tingkat akhir masa pendidikan. Yang termasuk pendidikan umum
adalah SD,SMP,SMA dan Universitas.
2.Pendidikan Kejuruan
Merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
untuk dapat bekerja pada bidang pekerjaan tertentu. Lembaga pendidikannya
seperti STM, SMTK, SMIP, SMEA.
3.Pendidikan Luar Biasa
Merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk
peserta didik yang menyandang kelainan fisik/mental.yang termasuk pendidikan
luar biasa adalah SDLB, SGPLB.
4.
Pendidikan Kedinasan
Merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk
meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai atau
calon pegawai suatu departemen pemerintah atau lembaga pemerintah
non-departemen.
5.
Pendidikan Keagamaan
Merupakan pendidikan khusus yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat melaksanakan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan
khusus tentang ajaran agama.
b. Kurikulum Program Pendidikan
Konsep sistem pendidikan nasional direalisir melalui
kurikulum. Kurikulum memberi bekal pengetahuan, sikap, dan keterampilan kepada
peserta didik. Curir dalam bahasa yunani kuno berarti ”pelari” dan curee
artinya ”tempat berpacu”. Kurikulum kemudian diartikan ”jarak yang harus
ditempuh”.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kualitas
pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan
kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya
yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang
dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan
kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi
yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah
sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan
kualitas guru serta prestasi siswa. Adapun faktor penghambat dalam
proses pembelajaran menurut Zuhairini
antara lain kesulitan dalam menghadapi
perbedaan karakteristik peserta didik,
perbedaan individu yang meliputi intelegensi, watak dan latar belakang,
kesulitan menentukan materi yang cocok dengan
kejiwaan dan jenjang pendidikan peserta didik, kesulitan dalam
menyesuaikan materi pelajaran dengan berbagai metode supaya
peserta didik tidak segera bosan, kesulitan dalam memperoleh sumber dan alat
pembelajaran, kesulitan dalam mengadakan
evaluasi dan pengaturan waktu. Dengan demikian hambatan dalam pembelajaran
sebagian besar disebabkan dari faktor pendidik yang dituntut untuk tidak hanya mampu merencanakan
PBM, mempersiapkan bahan pengajaran,
merencanakan media dan sumber
pembelajaran, serta waktu dan teknik penilaian terhadap prestasi siswa,
namun juga harus mampu melaksanakan semua itu sesuai dengan program yang telah
dibuat.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan
Agama (Jakarta: Ramadhani, 1993), 100.
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran,52.
Zuhairini, dkk.. Metodologi Pendidikan
Agama,100.
Pidarta, Prof. Dr.
Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan
Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
Labels:
makalah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment